Dewasa ini perkembangan Perbankan Syariah semakin pesat. Dengan
demikian, maka tidak menutup kemungkinan timbulnya sengketa antara
Perbankan Syariah dengan nasabahnya, baik dalam kapasitasnya sebagai
Shahibul Maal (penyandang dana) maupun
Mudharib (pengelola
dana). Berkaitan dengan itu, Pasal 49 huruf i Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama melimpahkan kewenangan kepada Peradilan Agama untuk
menyelesaikan sengketa tersebut secara absolut. Namun pada sisi lain
Peradilan Umum juga diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang
sama melalui Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Dalam konteks itulah artikel ini
menelaah ketidaksinkronan kedua peraturan perundang-undangan tersebut
serta mencari format penyelesaian yang lebih maslahah. Solusi terbaik
yang diajukan dalam artikel ini adalah dengan mengamandemen UU No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah oleh lembaga yang berwenang,
khususnya menyangkut dimungkinkannya Pengadilan Negeri menyelesaikan
sengketa Perbankan Syariah. Untuk memperkuat ide tersebut dipaparkan
empat alasan logis yang mencakup: (1). Untuk menjamin kepastian hukum
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah; (2). Untuk mengakhiri konflik
yurisdiksi antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum; (3). Hakim
Pengadilan Negeri tidak kompeten untuk menyelesaikan sengketa Perbankan
Syariah; dan (4). Untuk meluruskan paradigma pengelompokan litigasi dan
non litigasi yang keliru.
Selengkapnya klik...
http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/elhikam/article/view/1889
0 komentar:
Posting Komentar