Minggu, 17 Agustus 2014

MENIMBANG FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI SASAK

Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal el-Hikam Volume V Nomor 2 bulan Juli -Desember 2012 
Oleh: Sabirin, M.Si

Abstrak
Sasaran filsafat Pendidikan Islam dalam membentuk kesadaran secara komprehensif tidak saja bersumber dari Al-Quran dan Hadis namun juga harus mempertimbangkan “hal luar” yang sifat dan bentukannya telah mengakar dalam mainstream individu. Hal luar tersebut dapat  berupa tradisi yang mengandung nilai-nilai universal. Tradisi Sasak, dalam cakupannya yang luas telah mereposisi dirinya untuk terserap ke pelbagai ranah yang dapat dijadikan sebagai sumber dan acuan dalam pendidikan, khususnya pendidikan Islam yakni melalui sistem maliq dan merang-nya serta konsep harmonisasi dengan lingkungan hidup.
Mempertimbangkan tradisi Sasak sebagai sumber alternatif (sekunder) menjadi penting mengingat bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menjadi pranata moral dan etika dalam pergaulan masyarakat

Kata Kunci : Filsafat pendidikan, Tradisi Sasak, Lombok

Pendahuluan
Kajian filsafat pendidikan Islam sebagaimana dalam At Tarbiyah Al Islamiyah wa Falsafatuha karya Prof. Mohammad Athiyah Abrosyi disimpulkan bahwa lima tujuan penting (utama) pendidikan Islam, pertama sebagai pembentuk akhlak mulia. Kedua, sebagai bekal di kehidupan dunia dan akhirat. Ketiga, sebagai sarana penumbuh ruh imiah untuk meneliti, mengkaji, dan merangsang minat pada sains, seni, sastra, dan lain-lain. Keempat, sarana penyiapan tenaga professional yang berjiwa agamis. Kelima, sebagai pemelihara kemanfaatan sumberdaya.
Untuk mencapai kelima tujuan tersebut filsafat pendidikan Islam menargetkan sasarannya pada pengembangan manusia meliputi penyadaran posisi dan tanggungjawab individu dalam kehidupannya, penyadaran akan fungsi sosial manusia dalam hubungannya secara horizontal (hablum minan nas), penyadaran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan agar terdorong untuk berserah diri kepada-Nya, penyadaran manusia tentang fungsi dan kedudukannya di tengah makhluk lain agar memahami hikmah dan dapat mengambil manfaatnya.
Menurut Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan Islam tidak hanya didasari oleh pengetahuan agama semata melainkan didasari juga oleh ilmu-ilmu yang relevan, karena dasar utama filsafat pendidikan Islam yang tetap mengacu pada pemikiran radikal (mendalam), sistematik, logis, dan universal. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan yang diserap dari kegiatan pendidikan sosial dan lingkungan turut menjadi andil dasar terbentuknya pembentukan filsafat pendidikan Islam. Dalam pendidikan sosial dan lingkungan terdapat lima pranata sosial (social institutions) di dalamnya. 1) pranata pendidikan yang berfungsi sebagai sarana sosialisasi, 2) pranata ekonomi yang berfungsi mengatur pemenuhan kemakmuran, 3) pranata politik berfungsi menciptakan integritas dan stabilitas masyarakat, 4) pranata teknologi berfungsi menciptakan teknik untuk mempermudah manusia, dan 5) pranata moral dan etika yang fungsinya untuk menata tata nilai dan penyikapan dalam pergaulan sesama.
Pranata moral dan etika, khususnya dalam indegenius lokal menjadi jalan pencapaian sasaran dari filsafat pendidikan Islam untuk sampai pada penyadaran-penyadaran individu. Dan dalam lokal budaya Sasak jejak-jejak tersebut tampak dalam sistem nilai dan tradisi yang telah terlebur (terserap) dalam Islam seperti tampak dalam sistem nilai yang menjadi ciri tersendiri orang Sasak.

II. Pembahasan
Budaya Sasak seperti umumnya etnis di Indonesia, memiliki sistem nilai yang membangun kepribadian masyarakatnya sehingga menjadikan ciri tersendiri sebagai wujud jati diri atau local identity-nya secara utuh.

A. Sistem Nilai Budaya Sasak
Dalam struktur budaya Sasak terdapat tiga lapisan sistem nilai yang saling berkelindan antara satu dengan lainnya. Lapisan pertama disebut dengan lapisan inti, berfungsi sebagai sumber motivasi dari dalam diri (self motivation) masyarakat. Lapisan inti ini melahirkan lapisan kedua dan ketiga yaitu nilai penyangga dan nilai-nilai yang bersifat kualitatif.
Lapisan inti disebut dengan tindih  yang menjadi simbol-simbol nilai abstrak. Tindih berfungsi sebagai titik pijak meminakkan nilai-nilai filosofis,  dan memotivasi masyarakat Sasak menjadi insan yang patut (benar), patuh (taat), pacu (rajin atau sungguh-sungguh), solah (baik), soleh (alim, saleh, atau damai), yang akan termanifestasikan ke dalam kepatutan (kebenaran), kepatuhan (ketaatan), kepacuan (kesungguhan), kesolahan (kebaikan), kesolehan (kealiman, kesalehan, dan kedamaian) dalam rangka memelihara hubungan sosial dengan sesama manusia secara luas.
Kedua nilai penyangga sebagai lapisan kedua, yang berfungsi sebagai pertahanan dan tanggung jawab moral, seperti maliq dan merang. Maliq (Jawa; Pemali), merupakan sistem nilai yang mengatur hal-hal yang boleh dan tidak boleh, halal-haram, terlarang dan tidak terlarang untuk dilakukan guna mempertahankan kualitas dan integrasi kepribadian seseorang, seperti sifat dan tingkah laku yang tidak tepuji dan tidak senonoh. maliq bagi orang Sasak untuk lekak (berbohong), ngerimongin kemaliq (mengotori tempat-tempat suci), malihin adat (mengingkari adat) hinaq dengan (menghina orang), nyiksaq dan nyakitan dengan (memperkosa dan menyakiti orang), merilaq dengan (mempermalukan orang) dan lain-lain.
Adapaun merang merupakan sistem nilai yang digunakan untuk memotivasi solidaritas sosial, meningkatkan tampilan dan kinerja serta meningkatkan kualitas diri dalam rangka dan atau upaya mempertahankan diri menumbuhkan jati diri sebagai orang Sasak. Dengan motivasi diri ini tumbuh rasa persaingan yang positif (positive competitive mind) dalam meraih dan mengejar kemajuan. Tumbuh kemampuan berkompetensi yang sehat, dengan tidak berburuk sangka dan saling mencurigai satu dengan yang lain. Merang dapat pula diartikan sebagai semangat terhadap sesuatu masalah secara kolektif.
Dan yang ketiga yaitu simbol nilai-nilai yang bersifat kualitatif, meliputi seluruh kehidupan masyarakat. Jika pada lapisan inti, nilai-nilai tersebut masih bersifat abstrak, maka pada tataran lapisan ketiga ini nilai-nilai tersebut diwujudkan secara aplikatif dan akumulatif. Seperti nilai kesolehan (kesalehan dan kedamaian) misalnya yang diaplikasikan secara kolektif melalui gundem atau sangkep (rapat atau mufakat),  atau juga memalui mengeduh rerasan (bertukar pikiran, urung rembuk).

B. Budaya Lokal Sasak
Kearifan budaya tradisional atau budaya lokal (local knowledge atau local indigenous) adalah semua keahlian-keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradisional di daerah, dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungannya untuk mewujudkan hidup yang harmonis. Kearifan budaya adalah suatu terminologi yang diberikan bagi keluhuran nilai-nilai maupun sistem kehidupan masyarakat leluhur di masa lampau, yang tebukti secara signifikan memberikan roh dan nilai-nilai baru di era kekinian, jika diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat secara kuat dan utuh, lurus dan jujur, sungguh-sungguh dan penuh rasa kasih atau sayang.
Sesungguhnya kearifan tradisional sudah melekat pada masyarakat Sasak—dalam kaitannya dengan penataan hidup harmonis—masih terlihat dalam pergulan sehari-hari antara Islam-Sasak dan Hindu-Bali, seperti di Kecamatan Narmada khususnya di desa Batu Kumbung pada dusun Tratak, Pondok Buaq di desa Segerongan pada Dusun Karang Bayan, Loang Serang. Desa Selat pada Dusun Suranadi dan Selat dan Desa Bilebante serta Ubung dan Mantang di Lombok Tengah. Mereka berdampingan dengan penuh kedamaian sejak ratusan tahun yang lalu, krame banjar dan awig-awig (lisan) banjar-lah yang merekatkan hubungan itu hingga kini.
Krame sebagai norma sosial di tengah masyarakat Sasak terwujud ke dalam tiga krame yaitu titi krame, base krame, dan aji krame. Titi krame, yaitu adat yang diatur awig-awig sebagai hasil kesepakatan adat dari seluruh masyarakat adat. Jika dilanggar dikenai sanksi sosial atau sanksi moral. Titi krame ini antara lain menyangkut adat midang (bertandang ke rumah pacar) adat liwat (melewati halaman rumah orang lain), adat betemue (adat bertamu) dan lain-lain. Base krame, yaitu budi pekerti, sopan santun atau tata tertib adat yang diatur dalam awig-awig adat yang harus dilakukan dengan bahasa lisan dan bahasa tubuh yang santun dan tertib. Dilakukan dengan sepenuh hati tertib-tapsila. Menggunakan bahasa yang sopan, sikap yang santun. Terutama terhadap orang yang dihormati dan dihargai karena dilihat dari umurnya seperti yang muda menghormati tua, atau dilihat dari status sosialnya seperti rakyat menghormati pimpinannya.
Adapun aji krame, yaitu harga adat komunitas, atau juga harga status sosial seseorang atau nilai martabat kekerabatan seseorang yang terkait dengan hak dan adat dalam komunitas, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat adat secara umum. Besar kecilnya nilai adat atau aji krame itu terungkap dalam ketentuan adat perkawinan, sorong serah aji krame. Menyepakati aji krame berarti menghargai kedudukan atau martabat seseorang atau komunitas dalam masyarakat Sasak. Adapun pengkramen adat urip-pati (hidup-mati), yakni krame banjar, krame gubuk, dan krame dese.

1. Krame Banjar
Karame banjar yaitu suatu (kelompok adat atau perkumpulan) masyarakat adat yang anggotanya terdiri dari penduduk di suatu kampung atau dusun (dasan) atau berasal dari beberapa desa, yang keanggotaannya berdasarkan dan mempunyai tujuan yang sama. Anggota-angggota banjar dapat saja terdiri dari suatu keturunan yang sama, satu pihak atau satu agama. Perkumpulan adat yang keanggotannya homogen, atau keanggotaanya terjadi karena adanya hubungan emosional sosiologis yaitu hubungan sosial berdasarkan kepentingan bersama. Disebut juga krame banjar urip yaitu pati suatu banjar yang menyelenggarkan urusan orang hidup dan orang yang mati. Krame banjar urip-pati, sesuai kepentingan masyarakat terbagi ke dalam empat bentuk:
Pertama, Krame Banjar Subak adalah perkumpulan para petani (penggarap sawah pertanian) atau perkumpulan petani pengguna air sawah yang berada dalam wilayah subak tertentu (daerah tutorial penggunaan air dari satu bendungan tertentu). Anggotanya disebut sekeha subak berkewajiban membayar upah pekasih dengan mengumpulkan seikat padi atau lebih sesuai luas tanah garapan anggota sekeha. Kewajiban lain adalah bergotong royong membersihkan dan memperbaiki salurah kokoh (sungai). Telabah (parit), pengempel (dam air) dan tembuku (pintu air) dan lain-lain sarana pengairan. Termasuk bergotong royong melakukan ‘selamet pengempel’ atau tembuku (kenduri) setelah selesai memperbaiki pengempel atau tembuku). Anggota (sekeha) banjar subak bisa menjadiperkumpulan yang heterogen, terdiri dari bermacam-macam etnis dan agama. Pada krame ini dapat terpatri rasa persaudaraan yang tinggi.
Kedua, Krame Banjar Merariq yaitu banjar pemuda yang membentuk krame banjar untuk mengadakan arisan kawinan. Uang iuran anggota banjar diberikan untuk membantu anggota banjar diberikan untuk membantu anggota yang menikah atau kawin. Ketiga, Krame Banjar Mate yaitu perkumpulan yang mengumpulkan iuran anggota untuk membantu anggota yang dapat musihab kematian. Dapat berupa kain putih untuk kafan dan uang belasungkawa untuk membantu biaya kematian.
Dan keempat, Krame Banjar Haji yaitu sejenis perkumpulan haji, dengan pola sama seperti mendapat dana haji dari iuran anggota yang terkumpul, juga membantu anggota untuk bergotong royong dalam penyelenggaraan persiapan pemberangkatan ke Mekkah. Seperti membuat terob, melaksanakan adat zikir dan do’a bersama di rumah calon haji. Termasuk juga berkewajiban mengantar keberangkatan yang bersangkutan kembali dari Makkah, anggota krame haji juga bersama-sama menjemput dan menyambutnya.

2. Krame Gubuk
Suatu bentuk krame adat yang beranggotakan seluruh masyarakat dalam suatu (dasan, dusun, kampung) tanpa kecuali. Artinya bahwa keanggotaan krame tidak memandang bulu asalkan secara adat dan administratif yang bersangkutan adalah penduduk yang sah di dalam. Jadi krame (adat) yaitu sepertinya unsur majelis pimpinannya sebuah masjelis adat yang berbeda pada tingkat kampung (dasan, dusun) yang terdiri dari kliang adat, juru arah (pembangu kliang yang bertindak sebagai penghubung gubuk), lang-lang (kepala keamanan). Kiai penghulu gubuk, mangku (pemegang adat) gubuk juga penaoq gubuk (para tetua kampung) yang lain dan disamping itu juga termasuk penaoq agama (tokoh agama) seperti para tuan guru ustaz yang bertempat tinggal di dalam gubuk.
Di Dayan Gunung (Lombok Barat bagian utara) seperti halnya di Bayan yang termasuk menjadi anggota majelis krame gubuk adalah para taoq lokaq atau mangku seperti mangku pembanggar atau mangku menyunat gubuk dan lain-lain. Pekasih, mangku pengalas (pawang hujan) seperti di Gangga dan Tanjung, dan juga termasuk sebagai tetua Majelis Krame Subak atau Desa.

3. Krame Dese
yaitu majelis adat tingkat desa, terdiri dari pemusungan (kepala desa adat), juru arah (pembantu kepala desa), lang-lang desa (kepala keamanan desa), jaksa (hakim desa), luput (koordinator kesejahteraan desa), kiai penghulu. Khusus di Bayan, kiai ketip (kitab), lebe (lebai), modim (modin) dan kiai santri (kiai pembantu) mereka masuk pemimpin inti majelis adat desa. Juga masuk dalam anggota majelis adat adalah para toaq lokaq atau mangku adat ada pemangku atau mangku gubuk. Majelis adat disebut gegundem.
Mengenai hukum adat (sebagai hukum masyarakat) dalam masyarakat Sasak telah lama menjadi cara penegakan keadilan di tengah mereka, bahkan menurut Badrun (2006) hukum adat Sasak pernah menjadi pilar penting dalam menciptakan tatanan masyarakat yang adil, dan hukum adat Sasak terbukti telah mampu berjalan dalam bingkai sosiologis yang rapi dan berlaku secara turun temurun.
Secara teoritis hukum adat adalah hukum masyarakat yang dibentuk atas dasar pertimbangan moralitas sosial (adat), dan secara turun temurun mengikat gerak konfigurasi dan konstelasi sosial dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Hukum adat merupakan cermin dari cita-cita, kepercayaan dan prinsip moral yang sama. Hukum adat memiliki logika hukum tersendiri yang didasarkan pada ketentuan bersama yang disepakati sebagai media sanksi sosial. Hukum adat biasanya akan bergerak dalam batas prevelese etnografis, dan dalam masyarakat Sasak semua hukum (aturan) adat yang disepakati disebut dengan awig-awig adat.
Dalam kitab Kotaragama—kitab hukum dan aturan adat etnis Sasak, menyebutkan bahwa setiap pelanggaran adat dapat dikenai sanksi adat berupa dedosan (denda adat) dan juga dikenai hukuman moral atau sosial. Dedosan dapat berupa kepeng (uang) bolong yaitu uang Cina zaman dahulu.  Untuk itu uang bolong yang sudah langka itu dapat diganti dengan mata uang yang sedang berlaku pada saat ini. Sedangkan hukuman moral atau sosial antara lain dapat berupa pengucilan keluar kampung atau desa, yang dalam istilah adat disebut teselong.
Mengenai perkembangan hukum adat dalam sejarah masyarakat Sasak menunjukkan gejala fluktuatif dan sedikit mengalami pergeseran karena pengaruh modernisasi dalam segala bidang. Namun demikian, menurut penulis hukum adat ini akan terus menjadi ruh dan pakem penegakan keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat jika tetap berpijak pada kearifan budaya tradisional Sasak, walaupun karakter fisikal ritual pemberian sanksi hukum tidak sama dengan tempo dulu.

C. Hubungan Sosial
Hubungan Sosial  dalam komunitas Sasak selalu mengedepankan dan berpijak pada pembentukan hubungan yang harmonis di tengah-tengah mereka, sehingga dalam hubungan antar individu akan selalu memerhatikan nilai “saling” sebagai pengikat persaudaraan dalam membentuk ikatan persaudaraan yang kuat, dan termanifestasi ke dalam acara besiru , begal , dan bederep  yang terpola ke dalam moto beriuk tinjal yakni kebersamaan gerak pikiran. Selain itu pengedepanan sopan santun dalam berkomunikasi pun sangat dijunjung tinggi antara mereka.
1. Nilai “Saling” sebagai Pengikat Persaudaraan
Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, khususnya dalam bidang hubungan kekerabatan dan persahabatan, dalam masyarakat Sasak ada empat “saling” yang dijadikan sebagai pengikat persaudaraan di antara mereka, yaitu:
1. Saling Perasak, yaitu saling memberi atau mengantarkan makanan.
2. Saling Pesilaq, yaitu saling mengundang untuk suatu hajatan keluarga, misalnya dalam upacara perkawinan, dan sebagainya
3. Saling Laiq atau Ayo , yaitu saling layat jika ada kerabat atau sahabat yang meninggal. Jika ada yang meninggal, maka keluarga, sahabat, handai taulan, akan datang melayat sekalipun tidak diberitahu secara resmi, lebih-lebih jika ada dipermaklumkan. Semua pelayat biasanya membawa pelangar (bawaan berupa beras atau uang).
4. Saling ajin atau saling lilaq, yaitu saling menghormati atau saling menghargai di dalam persahabatan dan pergaulan.
Selain itu, dikenal juga pengikat persaudaraan yang intensitasnya tidak sekuat sebelumnya.
1. Saling Jangok, yaitu silaturrahmi saling menjenguk jika ada di antara sahabat sedang mendapat atau mengalami musibah seperti sakit, kecelakaan dan lain-lain. Dalam kesempatan seperti itu, yang menjenguk sesama membawa oleh-oleh (kaluq-aluq) berupa makanan, buah-buahan, minyak tanah dan lain-lain. Paling tidak ucapan do’a dan rasa simpati.
2. Saling Bait, yaitu saling mengambil dalam adat perkawinan, terutama mempelai terjalin hubungan yang setara, asalkan antara kedua calon keluarga dan mempelai terjalin hubungan yang setara, yang disebut kupu (setara, kesetaraan) dalam tingkat sosial, ekonomi,  esam-ciri dan sifat fisik, terutama kupu dari soal keyakinan agama. Jika terjadi tidak kupu sosial agama, maka secara adat dan agama, penyelesaian dilakukan secara sepihak oleh pihak laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar keluarga pihak perempuan karena dianggap melanggar awig-awig adat tidak dikucilkan secara adat oleh komunitas kerapahan (perdamaian) akan terjadi secara alami dalam waktu yang  esame e sama.
3. Saling Wale atau Bales, yaitu saling balas silaturrahmi, kunjungan atau semu budi (kebaikan) tidak pernah terjadi karena kedekatan persahabatan di antar semeton Sasak dan batur Bali atau dengan batur dari etnik atau agama lain. Ketika saling bales ada buah tangan yang dibawa batur yang  esame, yang disebut pejambeq (bawaan) berupa (umumnya) ayam dan ditambah hasil sawah atau kebun yang sedang dipanen.
4. Saling Sauq, yaitu percaya mempercayai dalam pergaulan dan persahabatan, terutama  sesama Sanak (saudara) Sasak dan antara orang Sasak dengan batur luah (non Sasak).
5. Saling Peringet, yaitu saling mengingatkan satu sama lain antara seseorang (kerabat atau sahabat) dengan tulus hati demi kebaikan dalam menjamin persaudaraan atau silaturrahmi.
Nilai “saling” ini kemudian mengikat persaudaraan orang Sasak dimana pun mereka berada, sehingga nilai “saling” ini secara tidak langsung menjadi barometer untuk mengukur tingkat kekuatan kesasakan (tau Sasak) seseorang. Adapun dalam ranah pemikiran keagamaan nilai “saling” ini dikedepankan dalam membentuk komunitas Islam Sasak yang solid.

2. Cara Berkomunikasi
Dalam membentuk hubungan sosial yang harmonis berkaitan dengan cara berkomunikasi, dalam komunitas Sasak selalu mengedepankan sopan santun yang disesuaikan dengan tingkat atau status sosial individu pengucap dan lawan bicara, dan disesuaikan juga dengan kondisi atau suasana dimana bahasa tersebut diujarkan dengan memperhatikan tata/titi basa, indit basa, ragin basa, dan sesenggak.
1. Tata/titi basa, yaitu tata bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Sasak yang benar. Dalma pengungkapan fikiran, sisi hati, pendapat, kehendaknya menggunakan bahasa Sasak yang baik dan beanr, tidka menimbulkan salah makna dan salah bahasa Sasak yang baik dan benar, tindak menimbulkan salah makna dan salah tafsir. Dengan maksud menghilangkan ketersinggungan seseorang yang disebabkan karena pengungkapan bahasa yang tidak benar.
2. Indit basa, penggunaan bahasa dalam bahasa sasak, sesuai dengan tingkatan status/ kedudukan sosial seseorang. Baik kedudukan dalam urutan berdasarkan umur maupun kedudukan atau jabatan seseorang dalam masyarkat. Lawan bicara yang dihormati karena pangkat dan jabatannya, harus disapa dengan menggunakan kata-kata kalimat yang mengandung peghormatan.
3. Ragin basa, yaitu penggunaan kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Penggunaanya harus profesoinal sesuai dengan posisi lawan bicara.
4. Sesenggak (pribahasa), yaitu ungkapan-ungkapan bahasa Sasak yang berbentuk sesenggak (pribahasa) sesimbing (perumpamaan sindiran), penerem (perumpamaan penegas), jika digunakan dengan tepat dan dapat membentuk kesejukan dalam pergaulan. Dapat menghindari ketersinggungan.
Perwujudan bahasa tersebut digunakan dalam pelaksanaan upacara urip atau pati, seperti pada acara sangkep majelis adat, sorong serah aji krama dan lain-lain.
1. Adat krama seperti dalam upacara sorong serah aji krama sebagai serangkaian dari adat perkawinan suku bangsa Sasak berkaitan dengan harga adat.
2. Adat gama, yaitu pelaksanaan adat yang berkaitan dengan ajaran atau petunjuk agama, seperti ada nikahang (adat pernikahan) adat nyunatang (adat khitanan), adat ngurisan (adat cukuran) dan lain-lain.
3. Adat luar gama, yaitu acara yang berkaitan dengan aturan hukum komunitas Sasak setempat yang didasarkan pada awiq-awiq adat yang sudah disepakati bersama. Seperti aturan acar amemilik kiai penghulu, pemangku/ mangku adat. Cara menghukum pencuri, cara menghukum prang yang bero (orang yang berzinah, lawan jwnis yang haram nikah) dan lain-lain.
4. Adat tapsila, yaitu adat yang berlaku dalam pergaulan, membentuk hubungan dalam berkomunikasi dengan sesama manusia. Misalny adat bertamu, adat midang (bertandang ke rumah pacar), adat menyilaq (adat mengundang) dan lain-lain. Jadi adat yang berkaitan dengan sopan santun, tata tertib dalam pergaulan.
3. Konsep Harmonisasi dengan “Dunia Lain”
Adapun hubungan sosial masyarakat Sasak dengan dunia lain, seperti dengan tumbuh-tumbuhan, binatang dan mahluk halus, mereka mempunyai konsep harmonisasi dengan lingkungan hidup. Dengan konsep harmonisasi ini akan mencegah mereka untuk bertindak emosional dan brutal terhadap lingkungan, konsep tersebut antara lain:
1. Tidak dapat dilakukan penebangan hutan secara liar. Menebang pohon bambu pada hari Ahad. Pohon kelapa padahari Kamis misalnya, sangat dilarang Pelanggaran itu dapat menimbulkan maliq dan medam atau tulah, kebenden (kutukan). Kepercayaan itu hanya untuk pengendalian agar manusia tidak tertidak semena-mena.
2. Tidak membunuh binatang tertentu. Bagi binatang tertentu seperti tikus, binantang buas, kucing, dan lainnya dihormati, bahkan diberikan sebutan yang indah bagi tikus yang disebut dende, datu untuk binatang buas dan lain-lain. Jika binatang-binatang mati, harus ditanam dengan cara yang baik. Secara implisit dapat dikatakan bahwa tujuan penghormatan terhadap binatang tertentu tersebut untuk menghindari agar mereka tidak merusak dan berbuat onar.
3. Pada komunitas masyarakat adat di Bayan Lombok Utara, sebelum menebang pohon, harus permohonan ijin dari mahluk halus yang dipercayai sebagai penunggu pohon atau pemilik pohon. Jika ada limbah yang dihasilkan dari pohon itu, harus dibuang pada tempat atau lokasi tertentu yang dimiliki masyarakat adat. Untuk menjaga keharmonisan itu secara adat telah ada pengaku adat yang disebut perumbaq dan lokaq. Perumbaq gedeng daye, berkuasa dan menjaga kawasan hutan, daerah peratanian dan mengawasi kawasan pesisir yang meliputi pantai dan laut. Sendangkan lokaq peramo yang bertugas menjaga, memelihara dan menebang pohon di kebun adat atau milik adat. Pada masyarakat adat lainnya seperti di Gangga dan Tanjung, petugas adat yang menjaga (kelestarian) hutan disebut pengalas atau mangku atas (bahasa Kawi: alas artinya hutan).

4. Hubungan Ekonomi
Dalam hubungan ekonomi perdagangan, misalnya dalam hubungan jual beli di kalangan komunitas Sasak, mereka akan selalu mengedepankan sifat sosial. Aplikasi dari sistem ini bisa dilihat dari perilaku sehari-hari mereka dalam hubungan ekonomi yaitu saling peliwat, saling lilik dan saling sangkol, sebagai perwujudan dari kebersamaan saling tulung (saling tolong-menolong).
Secara substansial perilaku dalam hubungan ekonomi ini sejalan dengan anjuran Al-Qur’an untuk saling tolong menolong di dalam kebaikan (wata’awanu ‘alal birri wat taqwa), perilaku tersebut antara lain:
1. Saling Peliwat, yaitu suatu bentuk menolong seseorang yang sedang pailit atau jatuh rugi dalam usaha dagangannya, dengan cara menunda pembyaran utangnya untuk sementara, sebelum usahanya pulih kembali. Atau dengan memberi tambahan barang dagangan dan lain-lain.
2. Saling liliq, yaitu suatu bentuk menolong kawan dengan membantu membayar utang tanggungan sahabat atau kawan dengan tidak memberatkannya dalam bentuk bunga atau ikatan lainnya yang mengikat.
3. Saling sangkol, yaitu suatu bentuk saling tolong menolong dengan memberikan bantuan terhadap teman.

5. Ungkapan Tradisional
Dalam bahasa Sasak ada beberapa ungkapan tradisional. Ada yang berbentuk peribahasa, dan ada pula yang berbentuk pepatah. Dalam bahasa Sasak ungkapan tradisional baik yang berbentuk peribahasa atau pepatah disebut sesenggak. Ungkapan tradisional sebagai salah satu bentuk kebudayaan lisan yang berupa kalimat-kalimat yang membaku, telah hidup dalam masyarakat, dan ditaati oleh masyarakat pendukungnya secara turun menurun sampai saat ini. Demikian pula halnya dengan penggunaan ungkapan tradisional sesenggak dalam masyarakat Sasak.
Dalam ajaran sesenggak banyak terkandung ajaran-ajaran dan nilai-nilai tradisional atau kearifan tradisional. Mengajarkan tentang ketuhanan, pendidikan, moral, hukum dan sebagainya. Pada hakekatnya sesenggak pada ungkapan tradisional adalah ungkapan ide, pandangan, keinginan, sikap serta perbuatan yang harus dilakukan, dan ataupun yang tidak harus dilakukan. Jadi ada sesenggak yang bernilai positif dan ada pula yang bernilai negatif.
Dalam kaitan dengan harmonisasi lingkungan hidup, sesenggak yang bernilai positif dapat diangkat dan direvitalisasi, agar menjadi perekat silaturrahmi. Sedang sesenggak yang bernilai negatif perlu diketahui oleh masyarakat tetap dalam suasana hidup yang rukun dan damai.
Sesenggak yang bernilai positif antara lain misalnya :
1. Adeqsa tao jauq aiq, (agar dapat membawa air/keteduhan). Ungkapan ini mengandung bahwa dalam suatu peselisihan atau pertengkaran yang sedang terjadi dan memanas, kita harus mampu menjadi pendingin. Dalam ungkapan ini diumpamakan sebagai pembawa air, karena mempunyai sifat pembunuh atau pemadam api. Jika suatu pertengkaran menjadi panas (yang diumpamakan seperti api) maka airnya adalah orang ketiga yang memberi nasehat, sehingga yang sedang berselisih atau bertengkar menjadi dingin. Perselisihan akan berakhir dengan aman dan damai. Sesenggak ini biasanya digunakan sebagai nasehat kepada orang-orang yang sedang bertengkar atau berkelahi atau bermusuhan.
2. Bareng anyong saling sedok (bersama-sama sehidup semati). Ungkapan ini mengandung makna senasib seperjuangan. Dalam ungkapan ini digunakan perumpamaan seperti air. Jika dibutuhkan saling memberi karena air adalah penentu kehidupan yang sangat dekat dengan manusia.
Ungkapan pribahasa ini sering disandingkan dengan ajaran-ajaran agama (Islam) yang senada seperti nilai persatuan (wa’tashimu bihablillahi jami’a) dan selanjutnya digunakan sebagai sarana motivasi dalam untuk menjalankan dan menaati ajaran-ajaran agama seperti anjuran infaq, shadaqah, kewajiban zakat, dan sebagainya.

III. Kesimpulan
Dari paparan di atas tampak bahwa tradisi Sasak dapat menjadi alternative dan pertimbangan dalam membentuk kesadaran komprehensif untuk mencapai cita Filsafat Pendidikan Islam agar menjadi manusia yang sadar posisinya, bertanggungjawab, memahami fungsi sosialnya, dan menyadari hubungan sosial dan hubungan dengan Tuhan yang tergambar dari pelbagai elemen sistem pembentuk tradisi Sasak, dan tidak hanya penyadaran dalam hubungan fisik (manusia), namun juga konsep hubungan dengan “dunia lain” yang akan mencegah individu Sasak dalam bertindak yang kurang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen P dan K, Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga Masyarakat NTB, (Mataram; Departemen P dan K, 1989)
Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Hanafi, Ahmad, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Nata, Abuddin, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Saifullah, Ali, H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.
Titus, Smith, Nolan., Persoalan-persoalan Filsafat, Cet. I, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Share:

Recent Posts

Labels