Minggu, 17 Agustus 2014

PESANTREN GLOBAL; REFORMULASI VISI DAKWAH BERBASIS KOMPETENSI

Sejarah pesantren merupakan sejarah panjang membangun infrastruktur sosial, budaya dan juga moral masyarakat karena pesantren merupakan salah satu perwujudan kesadaran untuk bangun dan melawan. Bangun dari kertinggalan lalu melawan kebodohan, barangkali hal ini korelatif dengan visi yang diemban oleh pesantren, yaitu membentuk kader-kader yang memiliki karakter yang kuat, baik  karakter sosial, budaya dan yang lebih penting adalah terbentuknya kader yang memiliki keimanan yang kuat. Artinya pesantren pada konteks ini memiliki peran yang sangat signifikan bagi terciptanya sebuah perubahan, perubahan dari keadaan yang tidak baik menjadi lebih baik, perubahan dari kondisi yang statis menjadi dinamis. Tulisan ini akan mencoba mengajak pembaca untuk melihat peluang dan tantangan pesantren berperan optimal sebagai institusi yang pada satu sisi tetap menegakkan pilar-pilar keimanan dan keislaman, dan di sisi lain pesantren juga sebagai instrumen perubahan di era global yang rentan dengan terjadinya dekadensi moral dan degradasi iman.Selengkapnya ... http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/elhikam/article/view/1914
Share:

JEJAK DAN JEJAKAN WAHABISME DI LOMBOK

(Proses Transmisi dan Akulturasi Wahabisme)
Sabirin, M.Si
Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Ulul Albab Volume I Nomor 1 Pebruari 2014

Wahabi satu dari sekian gerakan Islam puritan, yang sebelumnya tiarap dan hanya menjadi kelompok-kelompok sel dan termarjinalkan terlihat paling menonjol akselerasi dan penetrasinya dalam membangun jejaringnya di tengah komunitas Islam Indonesia. Dalam kurun waktu tidak begitu lama kelompok ini telah membangun kekuatan dan basisnya di berbagai daerah yang “dikuasai” kelompok-kelompok Islam moderat semisal NU, Muhammadiyah, NW, dan lain-lain. Tak terkecuali di Nusa Tenggara Barat, dan di Pulau Lombok khususnya, komunitas wahabi ini hampir mencover keseluruhan wilayah Lombok mulai dari kota hingga ke pelosok-pelosok desa. Walaupun dari segi kuantitas jumlah penganut wahabi di Lombok tidak terlalu signifikan, akan tetapi jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang mereka praktekkan secara real mampu mempengaruhi, menyihir dan mendapat tempat “khusus” di hati masyarakat Islam Sasak.

Kata kunci: Tuan Guru, Wahabi, Lombok


Pendahuluan
Gerakan dan pemikiran Islam di Timur Tengah mempunyai pengaruh luas terhadap pemikiran dan gerakan di Indonesia,[1] meskipun ada juga perbedaan penting baik dalam substansi maupun bentuknya. Timur Tengah yang dipersepsikan sebagai pusat Islam memiliki daya tarik tersendiri, sehingga gagasan, pemikiran, dan gerakan yang berasal dari Timur Tengah akan dengan mudah diterima, dianut, disosialisasikan, dan dipraktekkan, serta menjadi menjadi rujukan bagi gerakan Islam di hampir seluruh dunia. Samuel P. Huntington (2000) mencatat, bahwa kebangkitan Islam di Timur Tengah memiliki pengaruh terhadap setiap umat Islam di berbagai belahan dunia, dan terhadap aspek-aspek kehidupan sosial politik umat Islam di sebagian besar negara yang berpenduduk Muslim.
A.           Kebangkitan Wahabisme dan Transmisinya
Salafisme merupakan ideologi yang menganjurkan untuk kembali sepenuhnya kepada teladan orang-orang terdahulu, biasanya merujuk kepada Nabi dan sahabatnya. Ideologi ini juga menyerukan penghapusan terhadap tibunan-timbunan masa lalu, takahyul, dan taklid buta kepada preseden hukum atau mazhab pemikiran hukum tradisional. Oleh karena itu salafisme mengajak untuk menghidupkan kembali penggunaan ijtihad (pemikiran hukum independen) dengan kembali kepada sumber-sumber asli yaitu Al-Qur’an dan Sunah.[2]
Adapun wahabi (wahabiyyah) adalah pengikut ajaran-ajaran puritan yang ketat dari Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab (w. 1207 H/1792 M). Wahabi memusuhi takhayul-takhayul para wali, ziarah makam para wali, sufisme, syi’isme, dan metode-metode rasional dalam menarik kesimpulan hukum. Keyakinan wahabi sangat mencolok dalam mengekang kaum perempuan. Ajaran ini dominan di Arab Saudi dan banyak belahan dunia muslim lainnya.[3]
Hal yang membedakan keduanya adalah gerakan Wahabi memiliki karakter khusus yakni memerangi secara konfrontatif segala bentuk syirik dan khurafat, menyerukan kemurnian tauhid dengan pemahaman sederhana. Dan yang paling menonjol perbedaannya dengan Salafi sebelumnya adalah upayanya dalam memerangi segala penafsiran ayat-ayat maupun hadis-hadis tentang pelbagai sifat Allah, dan menolak penafsiran hukum Allah secara historis dan kontekstual dengan kemungkinan adanya penafsiran ulang ketika kondisi berubah, dengan kata lain, Wahabisme menerapkan literalisme teks yang ketat terhadap realitas.[4]
Kemunculan aliran Salafiyah di tangan Abdul Wahab ini menurut Rahmat (2005), mewarisi kecenderungan orang-oraang sebelumnya dalam memahami teks-teks syari’at secara harfiah, mengenyampingkan kajian akan beragam tujuan makna, serta sebab musabab yang melatarbelakangi hukum-hukum tersebut. Ini berbeda dengan dua imam aliran utama mereka, Syekh Ibn Taimiyah maupun Ibn Al-Qayyim.[5]
Bagian mendasar dari keyakinan kelompok Wahabi ini adalah kepercayaannya bahwa Islam hakiki adalah Islam yang dipraktikkan semasa Nabi, Khalifah Rasyidun yang empat, dan khalifah kelima ‘Umar bin ‘Abd ‘Aziz (memerintah tahun 717-720 M). Sejarah Islam sesudah itu adalah sebentuk penyelewengan karena kaum Muslim pramodern terjerumus ke dalam kebiasaan menggunakan cara berpikir yang penuh dalih intelektual (intellectual sophistry), terpisah-pisah ke dalam berbagai mazhab pemikiran, dan terpecah-pecah menjadi berbagai cara pandang yang saling bersaing.
Kebangkitan Wahabisme tidak lepas dari peran keluarga Su’ud yang berhasil membentuk pemerintahan keamiran di Dar’iyyah pada tahun 1725 M. Persekutuan simbiosis-mutualisme antara Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (w. 1787 M) yang reformis agama dengan Muhammad ibn Su’ud (w. 1814 M) sebagai penguasa lokal yang kuat dan ambisius menjadikan persekutuan ini memungkinkan mewujudkan cita-cita keduanya—berjalannya Islam sesuai dengan paham ‘Abd al-Wahab, kekuasaan dan kehormatan bagi ibn Su’ud sebagai cita lainnya.
Pasca ditinggalkan oleh kedua pelopor persekutuan ini dan berakhirnya kekuasaan Saudi I di Hijaz dan di Dar’iyyah sebagai pusat politik dinasti Saudi dengan pendudukan Muhammad Ali Pasya, bukan berarti persekutuan dua keluarga berakhir dan wahabisme lenyap. Pada 1820 M wahabisme kembali menemukan momentum kebangkitannya dengan dikuasainya Riyadh oleh dinasti Saudi dengan berkuasanya Turki ibn Abdillah, hingga akhirnya paham ini dipaksa menyingkir ke Kuwait pada tahun 1891 M pada masa pemerintahan ‘Abd al-Rahman ibn Faisal.
Periode kebangkitan kembali wahabisme dimulai ketika al-Syaikh Muhammad ibn Sulaiman ibn ‘Abd al-Wahhab bersekutu dengan ‘Abd al-‘Aziz II ibn ‘Abd al-Rahman—yang kemudian dikenal dengan ibn Su’ud, membangun kembali dinasti Saudi pada tahun 1902 M dengan mengalahkan dinasti Rasyid. Berselang sepuluh tahun kemudian ibn Su’ud memproklamirkan negaranya sebagai negara merdeka yang lepas dari kontrol Turki Usmani.[6]
Segera setelah Abdul ‘Aziz ibn Su’ud menguasai Nejd, ia mengkonsolidasikan kembali kekuatan-kekuatan Arab Badui[7] yang kembali liar karena tuntutan egoisme dan persaingan antar suku yang mengkristal pasca dihancurkannya penguasa Su’ud secara militer oleh Muhammad Ali (Gubernur Mesir) atas perintah Turki Usmani. Bagi Abdul ‘Aziz ibn Su’ud, pembiaran terhadap kekuatan antar kelompok yang saling bersaing ini dapat mengancam kelangsungan kepenguasaannya terhadap Hijaz secara keseluruhan. Oleh karena itu ia menghidupkan kembali aktivitas Wahabi.[8] Namun demikian, sosialisasi wahabisme tidak dapat dikatakan mudah diterima oleh setiap lapisan yang ada di Mekah. Beberapa fakta historis yang ditunjukkan oleh Badri Yatim dapat menjadi catatan penting dalam hal ini.[9]
Momen diserahkannya kepenguasaan Hijaz (Mekah) terhadap Abdul Aziz ibn Su’ud oleh Ali ibn Husein pada tahun 1925 M dapat dikatakan sebagai tonggak kebangkitan dan perkembangan Wahabisme selanjutnya hingga pada abad 20. Tesis ini didukung oleh fakta bahwa kota suci Mekah dan Madinah (Haramayn—dua haram) merupakan simbol umat Islam, di mana kedua kota ini menduduki posisi penting dan sangat istimewa dalam sanubari umat Islam. Mekah dan Madinah merupakan kota kelahiran Islam. Mekah adalah qiblah, ke arah mana para penganut Islam menghadapkan wajahnya dalam shalat, dan di mana mereka melakukan ibadah haji.[10]
Dan dengan dikuasainya tanah suci ini maka bargaining position (nilai tawar) Wahabisme sebagai pemahaman baru dalam Islam meningkat, mengingat signifikansi antara keutamaan kota Mekah dan Madinah dengan kewajiban ibadah haji, serta kewajiban menuntut ilmu sebagai bagian dari ajaran Islam, maka penilaian akan keutamaan ilmu yang diperoleh di kedua kota ini melebihi tempat-tempat menuntut ilmu lainnya, karena sebagaimana Azra (2004) bagi banyak muslim, khususnya di Nusantara, ulama jebolan Haramayn dipandang lebih dihormati daripada mereka yang memperoleh pendidikan di tempat lain di mana pun.[11]
Proses sosialisasi dan penyebaran wahabisme semakin mudah dikarenakan sebagaimana dikatakan Azra lebih lanjut bahwa, “Dengan datang dan perginya jamaah haji setiap tahun, Mekah dan Madinah menjadi tempat pertemuan terbesar kaum muslim dari berbagai penjuru dunia. Haramayn adalah pusat intelektual Dunia Muslim—ulama sufi, filosof, penyair, pengusaha, dan sejarawan Muslim bertemu dan saling menukar informasi”.[12]
Bentuk sosialisasi yang langsung ditemukan ketika jamaah haji menginjakkan kakinya di bumi Arab Saudi adalah ciri khas pakaian dan pemisahan laki-laki dan perempuan di ruang publik. Bentuk lainnya adalah seperti yang diperlihatkan oleh petugas amar ma’ruf nahi munkar yang kerapkali mengusir jamaah haji yang berlama-lama di makam Rasulullah dan para sahabatnya.
Selain itu, pengakuan Jumhur ulama Mesir di awal abad ke-20 yang mengakui bahwa gerakan Wahabi adalah Sunni—termasuk dalam golongan ahlussunnah wal jamaa’ah, menjadi salah satu faktor diterimanya ajaran Wahabi di tengah umat Islam dunia. Karena menurut jumhur ulama Mesir ini Wahabi secara teologis menganut aliran Salaf dan dalam bidang fikih menganut Mazhab imam Ahmad ibn Hanbal.
1.                 Proses Transmisi di Indonesia
Indonesia tak terkecuali—terutama pasca reformasi—di berbagai daerah perkembangan gerakan Islam dapat dilihat melalui tumbuhnya organisasi-organisasi Islam baru yang berbeda dengan organisasi-organisasi lama seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, NW (Nahdlatul Wathan), dan lain-lain. Organisasi-organisasi yang sering disebut sebagai “Gerakan Islam Baru” (new Islamic movement) ini dapat dilacak asal muasal pemikirannya dari berbagai organisasi gerakan Islam Timur Tengah. Gerakan Tarbiyah misalnya, gerakan ini dari sisi pemikiran sangat dekat dengan Ikhwanul Muslimin, bahkan menyebut dirinya ‘anak ideologis’ Ikhwanul Muslimin. (Rahmat, 2005). Hizbut Tahrir Indonesia secara resmi menjadi cabang Hizbut Tahrir Internasional yang berpusat di Yordania. Dan Wahabi—penganut wahabisme, mereka menamakan diri dengan Dakwah Salafi—adalah himpunan dari para aktifis Wahabi yang berjejaring dengan gerakan Wahabi di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Kuwait.
Menjadi ajaran dan paham yang didukung sepenuhnya oleh negara yang menggabungkan dan mengkombinasikan kekuatan dan mobilitas ideologi, serta dukungan kekayaan yang melimpah—terutama pasca bom minyak di tahun 1970-an, menjadikan wahabisme dengan mudah melakukan penetrasi ke negara-negara Islam lainnya.
Perkembangan Wahabi dengan pembiayaan Arab Saudi dan Kuwait mulai penghujung tahun 1970-an dan 1980-an mulai merambah lokus-lokus Muslim di seluruh belahan dunia. Bahkan Khaled Abou El-Fadl dalam bukunya And God Know The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001) meyakini bahwa Wahabisme telah menjadi sistem pemikiran yang dominan dalam dunia Muslim, termasuk Indonesia.
Dengan kekayaan tersebut Arab Saudi berupaya meneguhkan Wahabisme yang berwajah salafi melalui pemberian bantuan dan kerjasama pendidikan dengan lembaga-lembaga di Indonesia yang seide dengannya, seperti Persis, Al-Irsyad, maupun organisasi-organisasi puritan modernis seperti Muhammadiyah dan DDI (Dewan Dakwah Islamiyah).[13] Pemberian bantuan (sumbangan) juga diberikan dalam bentuk buku-buku dari maejlis fatwa ulama Saudi seperti Syekh Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syekh Sholeh Al-Utsaimin, dan kaset ceramah.
Selain itu upaya penyebaran ini juga terdukung dengan keterbukaan dan akomodasi Orde Baru[14] terhadap Islam pada pra reformasi, dimana elemen-elemen Islam diakomodir oleh pemerintah dalam lini kehidupan bernegara, sehingga setiap gerakan Islam cukup bebas menjalankan agenda organisasinya masing-masing termasuk Wahabi.
Dan menjadi kenyataan seperti yang diprediksikan oleh R. William Liddle[15] bahwa Islam skripturalis akan menemukan matamorfose kebangkitannya. Ia menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan kebangkitan tersebut. Pertama, kebanyakan kaum muslim Indonesia mudah menerima ajaran-ajaran Islam skripturalis. Kedua, aliansi politik antara kaum skripturalis dengan kelompok-kelompok sosial lain yang sedang tumbuh, dan ketiga, nafsu besar para politisi ambisius untuk membangun basis massa.[16]
Setelah Indonesia memasuki era reformasi dengan tumbangnya rezim Orde Baru dan dengan dibukanya kran kebebasan, wahabisme semakin leluasa dan bebas bergerak dalam mengembangkan sayapnya, dan semakin leluasa memengaruhi wacana publik Islam, baik secara langsung atau melalui media cetak maupun elektronik. Adapun pendirian yayasan-yayasan dan lembaga-lembaga pendidikan (pesantren) serta pembangunan masjid sebagai strategi utama penyebaran ajaran Wahabi semakin gencar hingga ke pelosok-pelosok desa, dan tidak lagi berkompetisi dengan misionaris Kristen, akan tetapi dakwah yang mereka lakukan lebih kepada internal Islam. Upaya merambah kampus-kampus juga semakin giat dilakukan, tujuannya antara lain menjadi sumber rekrutmen kader yang lebih potensial untuk melakukan misi dakwah.[17]
Kemajuan teknologi informasi juga dimanfaatkan oleh para penganjur wahabi dalam menyebarkan misi, memperkuat posisi, dan mempertegas keberadaan mereka di tengah masyarakat. Perkembangan media (terutama penerbitan) yang berada di bawah bendera dakwah wahabi ini dapat menjadi ukuran luasnya penyebaran paham ini. Media penerbitan yang berada di bawah bendera paham ini hampir menguasai beberapa daerah di Indonesia, setelah Jakarta sebagai basis paham ini, selanjutnya berkembang ke daerah-daerah lainnya lainnya seperti Bogor, Yogyakarta, Solo, dan beberapa kota lainnya di Indonesia.
Namun demikian, penyebaran Wahabi di Indonesia juga dilakukan oleh alumnus Madinah (Al-Jaami’atul Islamiyah—Islamic Univercity of Madina) maupun alumnus Mekah (Ummul Qura Univercity), mereka saling mendukung dan ambil bagian dalam penyebaran ide-ide wahabi ke tengah masyarakat, karena tidak sedikit pula dari mereka yang menjadi alumnus keduanya (antara LIPIA dan Mekah maupun LIPIA dan Madinah), bahkan antara mereka bisa dikatakan berada dalam jejaring yang sama dalam program penyebaran ini. Abu Nida misalnya—seperti yang ditulis Rahmat (2005)—bersama dengan beberapa alumnus Timur Tengah yang lebih yunior membentuk cabang At-Turats di Indonesia.[18]
Upaya transmisi dan awal pembentukan jejaringnya secara legal ditandai dengan dibukanya LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab)[19] sebagai cabang ketiga Universitas Muhammad Ibn Saud di Indonesia pada tahun 1980,[20] dan menurut Rahmat (2005), inilah yang menjadi momentum persentuhan awal (secara langsung) para aktivis salafi di Indonesia dengan pemikiran salafisme di Indonesia.[21]
Dengan terbentuknya LIPIA maka persentuhan antara aktivis dakwah wahabi Saudi dengan Indonesia semakin intensif, seiring didatangkannya tenaga dosen langsung dari Saudi. Sementara frekwensi kunjungan para "petinggi" wahabi dalam mengisi kuliah umum yang diselenggarakan oleh lembaga ini juga menjadi argumentasi lainnya dalam mencermati intensitas persentuhan tersebut.[22] Intensitas persentuhan melalui lembaga ini (sekaligus kontrol kegiatan keseharian mahasiswa yang di asrama) menjadikan pemahaman yang kuat dan kukuhnya jejaring transmisi selanjutnya, sehingga pencapaian terhadap misi wahabisme dapat segera terwujud, dengan doktrin ajaran wahabi yang telah tertanam dalam diri mereka.
Selain bantuan dan kemudahan akses dana dari Organisasi Jam’iyyatul Khairiyah yakni sebuah lembaga donor kerajaan Arab Saudi yang menyediakan dana untuk pendirian yayasan-yayasan wahabi, dananya juga diperoleh dari At-Turats lembaga donor yang berpusat di Kuwait dan mempunyai beberapa cabang antara lain cabang Asia Tenggara berada di Jakarta.
Dengan ketersediaan akses yang terbuka melalui jejaringnya di Indonesia maka dengan mudah mendirikan yayasan atau lembaga pendidikan sekaligus mengupayakan proses transformasi ide-ide wahabisme ke tengah masyarakat, sekaligus merajut dan membangun kembali jejaring barunya.

B.           Wahabisme di Pulau Lombok
Transmisi wahabisme ke pulau Lombok di era reformasi yang kemudian menunjukan kemajuan yang signifikan beranjak dari tahun 1993. Titik anjak kemajuan dakwahnya berawal di Masjid Jami’ Al-Muttaqien Cakranegara—sebuah masjid yang terletak di jantung wilayah bisnis di Nusa Tenggara Barat, dan masjid At-Taqwa Mataram yang terletak di jantung pemerintahan Mataram. Dari kedua masjid inilah kemudian muncul simpatisan dari kalangan pebisnis dan birokrat yang kemudian diduga kuat turut membiayai kegiatan-kegiatan penyebaran dan dakwah wahabi berikutnya di Pulau Lombok.
Selang beberapa waktu dengan di didirikannya Islamic Center di Cakranegara—sebagai pusat kegiatan dan pusat kontrol kegiatan wahabi di wilayah NTB, dakwah wahabi kian menemukan momentum kemajuan, seiring diangkatnya salah seorang ustadz asal Lombok sebagai koordinator dakwah wilayah NTB pada tahun 1999.
Bentuk kemajuan yang paling penting dan dapat dilihat di tahun-tahun pertama kelahiran Islamic center adalah menjamurnya komunitas-komunitas mereka yang menyebar di Kota Mataram dan Lombok Barat, terutama daerah-daerah penyangga kota seperti kecamatan Labuapi yang terletak disebelah selatan kota, Kecamatan Narmada terletak disebelah Timur, dan Kecamatan Gunungsari yang terletak di sebelah utara Kota Mataram.
Selanjutnya komunitas-komunitas inilah yang secara intens menyebarkan wahabi langsung ke tengah masyarakat Sasak dan mereka mengadakan pengajian atau acara-acara keagamaan pada komunitas masing-masing secara bergiliran, dengan mendatangkan da’i yang dikoordinatori oleh petugas Islamic Center. Sementara para petinggi yang ada di Islamic Center berupaya melebarkan sayapnya ke kabupaten-kabupaten yang ada di Pulau Lombok.
Pengembangan wahabi ini tidak sebatas hanya dalam membentuk komunitas saja dalam menjalankan dakwahnya. Untuk tujuan regenerasi, melalui rekomendasi koordinatornya, beberapa anggota—terutama dari kalangan santri lokal yang ingin melanjutkan studi atau memperdalam pengetahuannya, mereka dikirim ke pesantren-pesantren koleganya yang ada di Bogor, Yogyakarta, maupun Solo. Bahkan ada di antara mereka yang direkomendasikan melanjutkan studi ke luar negeri terutama Arab Saudi dan Kuwait, sehingga nanti ketika kembali ke Lombok diharapkan akan dapat membangun dan mengembangkan jejaringnya dengan sekup yang lebih luas, sehingga ajaran ini terus menerus dapat bertahan di Pulau Lombok.
Dan untuk lebih mendekatkan ajaran ini kepada generasi selanjutnya, seperti yang terdapat pada agenda utama mereka adalah mendirikan lembaga pendidikan atau pesantren. Sementara ini tercatat ada sekitar 30-an lebih lembaga pendidikan yang secara langsung menggunakan kurikulum wahabi atau dengan kata lain pengajarannnya berbasis wahabisme.
Secara umum upaya penyebaran di pulau Lombok dilakukan melalui tiga cara, pertama melalui pendekatan kepada kelompok-kelompok elit masyarakat, seperti pengusaha, dan tokoh. Kedua dengan metode asimilasi yakni, para penganut wahabi menikahi gadis-gadis yang bukan wahabi untuk kemudian diajak pindah ke kelompok mereka, dalam hal ini para da’i wahabi mendapatkan insentif khusus dan nilai gaji mereka naik. Dan ketiga melalui masjid-masjid atau mushalla, ada banyak masjid dan mushalla yang dikelola oleh warga yang kemudian berubah menjadi milik kelompok mereka.
C.            Dialektika Wahabi dan Masyarakat Sasak
Bagi daerah Nusa Tenggara Barat, khususnya Pulau Lombok, ajaran (istilah) Salafi atau Wahabi bagi kalangan tertentu sudah lama dikenal atau dipakai. Istilah Salafi atau Wahabi merupakan istilah yang biasanya dimaknai negatif, bertentangan dengan tradisi yang telah diajarkan Tuan Guru, atau dengan kata lain keluar dari pakem tradisi keislaman masyarakat Lombok.[23] Dan agaknya istilah ini telah berproses lama di Gumi Sasak seiring arus jamaah haji yang menyerap informasi perkembangan Islam di Timur Tengah.[24]
Tidak ada yang tahu persis kapan awal istilah ini muncul di pulau Lombok, namun diperkirakan istilah ini muncul di tengah masyarakat Sasak atas propaganda Belanda yang digelontorkan untuk mengkanter perlawanan masyarakat Sasak dan untuk memecah belah mereka (de vide et impera), sejalan dengan yang dikatakan Ahmad Baso (2005) bahwa dalam sejarahnya untuk tetap bertahan dalam menjajah Indonesia, para sarjana Belanda mengusulkan agar kelompok puritan Wahabi diperkenalkan ke bumi Nusantara untuk menjinakkan para ulama dan komunitas tarekat. Mereka tahu, menghabisi komunitas tarekat hanya dengan cara memperkenalkan kelompok-kelompok puritan Wahabi yang akan membabat habis praktik-praktik agama yang dianggap syirik, takhayul, bid’ah dan khurafat. Tujuannya untuk menjauhkan komunitas ulama dan pesantrennya terutama dengan kalangan petani.[25]
Demikian halnya yang ingin dilakukan Belanda di Pulau Lombok, mereka ingin memecah antara pemangku adat dan para tuan guru sebagaimana terpecahnya “kaum tradisi” yang disebut kaum tuo dan “kaum pemurni” yang disebut kaum mudo di Sumatera, yang memuncak dengan pecahnya perang Paderi, padahal tradisi yang dikembangkan dalam masyarakat Sasak sejak awal adalah tradisi yang telah dimuati dengan ajaran-ajaran Islam.
Seiring kemerdekaan Indonesia, dan perkembangan informasi yang diserap masyarakat, pelekatan istilah wahabi kian tenggelam digantikan istilah “muhammadiyah”. Dengan kata lain predikat negatif yang dilekatkan kepada seseorang yang dilihat menyimpang dari segi ibadah—seperti tidak qunut subuh dan sebagainya—yang diajarkan Tuan Guru dicap sebagai “muhammadiyah”.
Agaknya pergeseran ini dipengaruhi oleh kompetisi organisasi keagamaan antara Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathan (NW) yang mempertahankan pengaruhnya, dan pada sisi lainnya Muhammadiyah sebagai “pemain baru” yang berupaya memengaruhi tradisi beragama masyarakat Sasak. Hingga tahun 90-an istilah ini masih santer dipakai. Dan di era akomodasi Islam oleh rezim Orde Baru pun istilah wahabi hanya dikenal orang-orang tertentu yang yang mempunyai akses informasi yang cukup.[26]
Bangkitnya istilah wahabi kemudian dikenal luas kembali terjadi setelah runtuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran kebebasan. Hal ini terjadi seiring gencarnya dakwah Salafi di tengah masyarakat Sasak.[27] Gencarnya proses tersebut dapat dilihat dengan maraknya dakwah para penganjur ide-ide wahabi yang disusul kemudian dengan munculnya komunitas-komunitas kecil dengan tatanan nilai yang berbeda dengan masyarakat Sasak, seperti cara berpakaian, praktik beribadah, cara (metode) dakwah, dan sikap mereka dalam berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat—yang lazim ditemui pada komunitas wahabi pada umumnya.
Ciri khas pakaian yang bisa dikenal langsung dari penganut ajaran wahabi ini berupa jubah, kopiah putih, celana di atas mata kaki, dan berjenggot[28]. Dari cara ibadah yang praktiknya biasa terlihat yakni, mereka tidak qunut subuh, membaca zikir dan berdo’a bersama setelah salat fardhu, membaca talqin untuk mayit sewaktu acara penguburan, azan jumat hanya sekali, dan sebagainya. Selain itu mereka mengakui bahwa mereka tidak mengikuti salah satu Mazhab, akan tetapi mereka mengikuti (mempraktikkan) cara ibadah sebagaimana yang tertulis dalam teks secara apa adanya, serta mengikuti anjuran dan ajaran-ajaran para gurunya saja. Menurut Tuan Guru Musthafa, inilah yang membedakan wahabi di Mekah dengan yang ada di Lombok.[29]
Dalam memandang dan melihat kondisi masyarakat, para penganut wahabi di Lombok cenderung memvonis bahwa umat Islam di Lombok tidak lebih baik dari penganut Hindu yang syirik sebagai penyembah batu dan kuburan, dan tidak jauh berbeda dengan penganut wetu telu yang berlaku bid’ah. Praktik agama popular masyarakat seperti pengkeramatan para wali, para tuan guru, dan makam-makam mereka, serta peringatan hari-hari besar Islam dikecam sebagai takhayul dan syirik, dosa terbesar dalam Islam. Mereka mengecam akidah dan praktik ini sebagai bid’ah yang mengancam tauhid dan umat Islam. Senada seperti apa yang dikatakan Abdussalam Khudhar (1986):
“Anggapan baik mereka terhadap bid’ah akan membuka jalan yang menimbulkan ribuan dampak buruk bagi Islam dan menimpa diri mereka dengan segala bentuk bala. Mereka telah melakukan kerusakan pada diri mereka sendiri, agamanya, dan kemaslahatan duniawinya. Itu semua akibat bergantinya akidah yang murni yang diturunkan dari langit, yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnan.
Akidah mereka menjadi akidah bid’ah yang dibuat-buat, maka berubah dari tuntunan tauhid menjadi syirik. Iman dan Islam mereka hanya ucapan lisan…. Mereka menyeru, bersandar, bernadzar, bersumpah, dan meminta pertolongan kepada selain Allah…”[30]
Praktik takhayul, syirik, dan bid’ah tersebut dianggap sebagai pemicu dekadensi moral di tengah masyarakat Sasak, sehingga hidup di tengah ikon “pulau seribu masjid” menjadikan praktik-praktik tersebut semakin pantas dicela dan sepantasnya dihapus dan digantikan dengan praktik-praktik salaf al-shalih, yakni praktik jalan lurus Islam (praktik Islam sejati). Untuk itu harus dilakukan pembaharuan yang hanya bisa dilakukan dengan mengulang reformasi besar Islam, revolusi sosial dan moral yang dipimpin oleh Nabi Muhammad yakni kembali kepada kehidupan umat yang secara ketat berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah Nabi serta mengikuti teladan umat para salaf.
Agaknya ini terjadi karena keterlepasan mereka dengan proses sejarah masuknya Islam ke Gumi Sasak[31] yang akhirnya diterima secara luas. Akomodasi, yakni mengakomodir tradisi yang ada ditengah masyarakat ke dalam praktik-praktik Islam—menjadi cara yang dipakai oleh para tuan guru ketika memperkenalkan Islam terhadap Sasak-Boda[32].
Pendekatan yang ditempuh adalah pendekatan titik temu dan rekonsiliasi tradisi antara penganjur Islam (da’i) dengan masyarakat lokal. Dari sini kemudian solidaritas dimunculkan dan dilestarikan melalui pengembangan tradisi-tradisi atau ritual-ritual jama’i (kolektif), seperti ziarah kubur—yang kemudian berkembang dan ditujukan kepada mereka yang berjuang memahamkan Islam pertama kali di suatu daerah atau kawasan tertentu di Lombok, tawasul, dan haul (hultah), dan peringatan hari-hari besar Islam.
Tradisi tersebut bukan barang baru bagi masyarakat sebelum kedatangan Islam, namun oleh tuan guru hal tersebut diisi dengan hal-hal positif (islami) agar bermanfaat dan berdampak positif pula terutama dalam menumbuhkan solidaritas dan kesadaran untuk menjaga kepentingan agama.
Dengan strategi tersebut tuan guru dan masyarakat menjadi kreatif menggali dan menemukan sumber-sumber solidaritas yang akan melebur sekat-sekat antara agama lokal (Boda) dan agama pendatang (Islam), serta untuk tujuan yang lebih jauh yakni menangkal perubahan dari luar yang akan menghegemoni pemahaman keislaman mereka, dan dengan sendirinya menjadi hujjah bagi eksisnya kepemimpinan moral dan sosial tuan guru di tengah masyarakat sampai kini. Oleh karena, tatanan nilai, struktur budaya dan sosial masyarakat Lombok yang telah terbangun dan hidup di tengah masyarakat (sebagaimana telah dijabarkan dalam bab III) adalah menjadi tatanan dan struktur yang islami, bukan pemicu dekadensi moral apalagi pengancam tauhid dan umat Islam seperti yang dituduhkan oleh penganut wahabi.
Doktrin yang menolak ziarah kubur, pengkeramatan terhadap wali-wali, dan pemberian cap ahlul bid’ah kepada para pelakunya turut memengaruhi sikap dan cara mereka dalam berinteraksi (bergaul) antar sesama anggota masyarakat yang bukan dari kelompok mereka—sikap yang umumnya lazim kita temui pada komunitas wahabi, yang “ketus” terhadap pemahaman dan pelaku yang berbeda dengan mereka. Tidak menjawab salam,[33] menolak do’a bersama, menolak duduk bersama dalam satu majelis,[34] bahkan perempuan-perempuannya menutup diri dari pergaulan publik, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas sosialnya[35] di tengah masyarakat Sasak.
Demikian juga dengan cara penyampaian dakwahnya, mereka sama sekali berbeda sebagaimana cara-cara yang dilakukan oleh para da’i (tuan guru) pada umumnya. Bila tuan guru menggunakan cara-cara bijaksana dalam ngamarin[36] masyarakatnya, maka para penganut wahabi acapkali mengedepankan cara-cara konfrontatif[37] dan demonstratif[38] dalam memengaruhi, yang bagi bagi masyarakat Sasak cenderung menimbulkan empati. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian terjadi konflik yang berujung tindak kekerasan fisik terhadap penganut wahabi ini berupa pengerusakan dan pengusiran, seperti yang terjadi di Sesele Lombok Barat[39], Sekotong Lombok Barat,[40] dan di Gelogor Kediri Lombok Barat.[41]
Cara-cara ini (konfrontatif dan demonstrative, red) sebagaimana dikatakan salah seorang penganjur dalam ceramahnya, merupakan cara yang paling tepat dalam memahamkan ajaran Islam yang sesungguhnya kepada masyarakat Sasak.
… cara tersebut adalah cara yang mempunyai tuntunan dalam Islam sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw pada masyarakat Madinah, …karena masyarakat kita (Lombok) adalah masyarakat Islam yang sudah mengerti dan memahami Islam, dan juga mengetahui bahwa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah pedoman utama Islam. Al-Qur’an adalah pondasi utama yang sudah mencakup segalanya, dan Rasulullah Saw adalah penerjemah dari pondasi itu, sehingga beliau menjadi panutan yang harus diikuti karena ia contoh teladan yang sebenar-benarnya dari Islam. Jika kita mau berislam yang kaffah (menyeluruh) maka segala tindak tanduk kita harus berdasarkan perilaku yang dicontohkannya seperti tertera dalam hadis-hadis yang bisa dipertanggungjwabkan keilmiahannya.
Oleh karena itu kita tidak boleh setengah-setengah menjalankan sunnahnya, karena Allah SWT menjanjikan pahala seratus kali lipat bagi orang yang mampu menjalankannya, bahkan siap dengan segala resikonya, karena Rasulullah Saw menyatakan, akan datang suatu masa dimana orang yang memegang sunnahku seperti memegang bara api…[42]
Demikian juga halnya, menjalankan sunnah Nabi apa adanya, dipandangnya sebagai jihad yang akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT, dan mengecam mereka menzaliminya. Menurutnya apa yang dilakukan oleh para ‘aktifis’ wahabi adalah benar menurut pandangan Islam. Dan di sisi lain ia juga menyayangkan sikap mereka yang secara langsung mengecam masyarakat dengan praktik keagamaannya.[43]
Namun demikian tidak seluruhnya para penganut wahabi yang berpandangan dan berprilaku seperti tersebut di atas, ada juga di antara mereka yang berprilaku seperti masyarakat Sasak pada umumnya, ustad-ustad[44] yang pernah mengajar di Pondok Pesantren Al-Aziziyah misalnya, mereka tidak seekstrem seperti penganut wahabi lainnya. Mereka tetap bergaul, ramah, menjawab salam, dan mau duduk bersama dengan orang-orang “diluar” mereka, bahkan lebih jauh lagi mereka bersedia berdiskusi tentang masalah-masalah atau ajaran-ajaran yang erat kaitannya dengan paham wahabi, dan tak segan-segan memenuhi undangan pada acara-acara besar Islam yang dipandang oleh kalangan wahabi sendiri sebagi bid’ah.[45]
Sikap konfrontatif dan demonstratif yang banyak dilakukan oleh penganut-penganut wahabi pada tempat-tempat lain tidak terlihat pada mereka. Dalam banyak hal yang bersentuhan langsung dengan kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan mu’amalah, atau hal-hal yang bersifat furu’iyyah maupun sifatnya ijtihadi, cenderung dilakukan dengan cara-cara kompromi. Artinya masyarakat diberikan dan diarahkan untuk memilih pilihan terbaik menurut agama berdasarkan dalil-dalil yang nyata, dan tidak dilarang secara langsung (terang-terangan) terhadap perbuatan bid’ah yang mereka lakukan.[46]
Mempertahankan cara-cara damai dalam memahamkan ajaran wahabi di tengah masyarakatnya. Baginya, membangun kepercayaan di tengah masyarakat dengan memberikan contoh yang terbaik seperti yang dicontohkan Nabi pada masa-masa awal Islam di Mekah, adalah yang paling penting. Kepercayaan merupakan modal utama untuk mentransformasikan Islam yang benar berdasarkan Quran dan Sunnah serta mencontoh perilaku para salaf al-shalih yang fleksibel dalam menjalankan tradisi Nabi. Setelah kepercayaan itu terbangun maka dengan sendirinya masyarakat akan menilai, memedomani dan mengikuti langkah-langkah (perilaku) Nabi yang dicontohkannya.[47]
Langkah ini ia lakukan mengingat (belajar) dari kasus-kasus yang banyak terjadi di daerahnya (Lombok Timur). Banyak penganut wahabi yang mendemonstrasikan paham mereka secara rigid (kaku) dan cenderung konfrontatif atau menuding langsung terhadap ritual-ritual yang dilakukan masyarakat itu sebagai sesuatu yang tidak ada landasan dalam Islam (bid’ah), yang sebenarnya bisa disiasati dengan cara-cara hikmah, mau’idhah hasanah dan dengan cara-cara yang ma’ruf, seperti tidak menghina, melecehkan, atau menghakimi masyarakat dengan praktik keagamaan mereka, mencarikan alternatif-alternatif yang lebih baik dan lebih mendekati kepada praktik salaf al-shalih, dan seterusnya.
Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh seorang alumni LIPIA di NTB—sekarang beliau menjadi pimpinan salah satu pondok yang cukup di NTB, melalui pondok pesantren yang dipimpinnya ia berupaya mengakomodir pemahaman agama yang telah populer di tengah masyarakat, di luar masalah-masalah pokok (akidah). Adapun Persoalan-persoalan fiqih yang sifatnya ijtihadiy ia tidak saklet, bahkan ia mengakui mengikuti mazhab syafi’iyyah sebagai mazhab mayoritas masyarakat Sasak, karena baginya menyampaikan dakwah haruslah dengan menggunakan ‘bahasa’ objek dakwah, oleh karena itu seorang da’i harus fleksibel, bisa masuk kemana-kemana dan bisa ‘meresap’ ke semua kalangan. Bentuk fleksibelitas tersebut ia terapkan tidak hanya dalam koridor dakwah, tapi ia terapkan juga dalam kurikulum pesantren.

Penutup
Beranjak dari paparan di atas terlihat adanya konfigurasi penganut wahabi dalam bersikap maupun dalam menyampaikan misi dakwah mereka. Disatu pihak ada yang bersikap ekstrem namun dipihak lain ada juga yang bersikap lunak dan mengikuti arus pemahaman dan praktik agama yang ada di masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena tingkat pemahaman mereka yang berbeda mengenai cara mengejawantah sumber-sumber pokok maupun akses mereka terhadap ajaran wahabi ini, sehingga bagi mereka yang kurang berpengetahuan akan cenderung intoleran, konfrontatif, rigid, dan keras dalam menyikapi praktik keagamaan di tengah masyarakatnya (Sasak), hingga mengundang berbagai respon tuan guru atas mereka.





[1] Munculnya revivalisme Islam di Indonesia memberikan kepada pemerintah apa yang mereka anggap sebagai ancaman, baik bagi negara maupun bagi kekuasaan politik mereka sendiri. Pada tingkat pertama, mereka takut bahwa gerakan gerakan itu akan memperburuk ketegangan-ketegangan komunal dalam masyarakat majemuk, dan pemerintah memberikan reaksi tegas terhadap persekongkolan-persekongkolan yang diduga aktual untuk menumbangkan negara atas nama Islam. Lihat Fred Robert van der Nehden, Islam dan Negara di Indonesia dan Malaysia, dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed), Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 135
[2] Khaled Abou El-Fadl, And God Know The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001). Catatan Akhir Bab 1 Nomor 5, h. 197
[3] Karena orientasi dasarnya yang telah berubah tersebut, maka dalam beberapa segi Wahabisme banyak disoroti sebagaimana Khaled Abou El-Fadl misalnya, menurutnya para penganut dan penganjur Wahabisme berupaya melakukan peneguhan kembali akan semangat pembebasan umat Islam, namun cara dan praktik mereka yang meruntuhkan dan membabat habis praktik-praktik tasawuf menjadi bertolak belakang dengan cita-cita sosial agama yang emansipatif, humanis dan berkeadilan. Sejumlah ajaran yang sudah terlanjur mengendap dan menubuh kuat dalam kesadaran sebagian besar umat Islam itu mereka tampik hanya karena ketiadaan harfiah teks yang membackupnya. Menurutnya, dari pelbagai segi wahabisme adalah bentuk akhir dari konsumerisme yang ditopang agama. Lihat Khaled Abou El-Fadl, And God Know The Soldier.. ibid, h.193.
Arab Saudi dan Kuwait—yang dalam perspektif ekonomi-politik, kedua negara ini cenderung (sangat akrab) kepada kapitalisme.[3] Pada dasawarsa 50-an, pakar perpajakan Amerika dilibatkan dalam penyusunan ketetapan pajak pengahasilan. Sintesa antara ajaran zakat dan fiskal Amerika tak terelakkan. Hal ini terus terjadi, karena Arab Saudi semakin aktif melakukan bisnis dengan Amerika. Lebih lanjut lihat J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1997)
[4] Imdadun Rahmat, Arus Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia. (Jakarta: Airlangga, 2005) cet ke-1 h. 68
[5] Lain halnya dengan gerakan Salafi yang dimotori oleh Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha pada awal abad ke-20, dimensi kesalafiyahan mereka cenderung lebih luas dibandingkan para pendulumnya seperti Abdul Wahab maupun Ibnu Taimiyah. Kesalafiyahan ala Muhammad Abduh, Rasyid Ridha terdiri tiga komponen. Pertama, keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud jika umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya al-Khulafa al-Rasyidun. Komponen ini sama dengan salafiyah sebelumnya. Kedua, perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Ketiga, pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan teknologi, oleh karenanya umat Islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut, kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali umat Islam.[5] Singkatnya mereka cenderung merespon perubahan konteks dengan menafsir ulang pilar-pilar islam (Quran dan hadis) dalam merespon modernitas, sehingga pemikiran mereka terbuka terhadap pemikiran dan gagasan-gagasan lain, bahkan bagi Rahmat (2005) para motor Salafi awal abad ke-20 tersebut diyakininya sebagai penganut teologi yang berorientasi liberal. Imdadun Rahmat, Arus Islam Radikal… Ibid
[6] Robert Lacey, The Kingdom Arabia dan The House of Saud, (terj) Kerajaan Petrodolar Saudi Arabia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 103
[7] Pengkonsolidasian ini dibentuk dengan pembentukan kelompok-kelompok persaudaraan (ikhwan) yang dimultifungsikan antara lain sebagai berikut. Pertama, sebagai pusat asimilasi atau pembauran antar suku yang diikat oleh satu keimanan dan keyakinan. Kedua sebagai pusat dakwah untuk gerakan wahabi dan sebagai komando jihad—sehingga dikemudian hari kelompok persaudaraan ini melahirkan organisasi al-Ikhwan dengan tentaranya yang terkenal kuat. Ketiga, sebagai penghasil devisa negara melalui kegiatan pertanian dengan dibangunnya pemukiman-pemukiman baru. Lihat James P. Piscatori, Perkembangan Ideologis di Arab Saudi dalam Harun Nasution, Azyumardi Azra (Peny.), Perkembangan Modern Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1985), h. 196
[8] Aktivitas wahabi sejak awal kebangkitannya merupakan aktivitas yang berusaha menjalankan Islam secara “murni”, rigid, dan literalis. Ajaran ini merupakan antitesa dari cara beragama tasauf populer waktu itu. Oleh Abd al-Wahab, pemujaan lain selain kepada Allah adalah syirik dan pemujaan terhadap orang-orang suci (wali) adalah mirip dengan politeisme. Ibid.
Dari uraian ini dapat dikatakan bahwa awalnya dukungan terhadap aktifitas Wahabi ini didasari oleh kepentingan politis untuk menyatukan suku-suku yang bertebaran dan hidup secara nomad di wilayah Hijaz. Abdul ‘Aziz ibn Su’ud berkepentingan mempertahankan wilayah-wilayah yang telah dikuasainya dari ekspansi Inggris maupun dari Turki Usmani.
[9] Pertama, menurut teori sosiologi, tidak ada inovasi yang langsung diterima oleh masyarakat. Setiap pembaruan harus melalui beberapa proses untuk diterima menjadi bagian integral dari masyarakat. Dan kadang kala proses itu membutuhkan waktu yang sangat lama.
Kedua, dilihat dari perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan ulama Hijaz pada abad ke-18 yang semakin kuat ke arah ortodoksi dan semakin kritis terhadap tasauf populer, penerimaan sebagian ulama terhadap ajaran gerakan wahahabi dapat dipahami. Akan tetapi di akhir abad 18 itu pula terdapat kecenderungan yang cukup kuat akan munculnya ekslusifisme di kalangan tarekat populer tertentu. Dengan demikian ulama yang mendukung golongan yang berorientasi kepada tarekat populer ini tentu saja tidak dapat menerima ajaran Wahabi, karena ajaran Wahabi ini sangat kuat mengutuk ajaran dan praktik-praktik tasauf populer itu. Di samping itu, ulama yang kritis terhadap tasauf populer itu sendiri sendiri tidak selamanya radikal dan menunjukkan antipati terhadap ajaran tasaufnya sendiri. Dari kenyataan sejarah ini, kita tentu dapat menyatakan bahwa tidak seluruh ulama Hijaz dapat menerima ajaran wahabi itu. Kalaupun mereka tetap berada di mekah dan terlibat dalam dialog dengan ulamaWahabi tersebut di atas, kita mungkin tidak terlalau meleset untuk menyatakan bahwa mereka menerimanya karena merasa mendapat tekanan politik dari penguasa baru itu. Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka tidak dapat menerima ajaran wahabi tersebut, dan mereka kemudian mengungsi ke kota-kota Islam lainnya di luar Hijaz.
Ketiga, menjelang Dinasti Saudi berhasil menganeksasi Hijaz pada tahun 1803 M, yaitu ketika peperangan antara syarif Galib dengan Nejd sedang berkobar, banyak penduduk yang meninggalkan kota Mekah untuk mengungsi. Namun demikian, kita sulit untuk membantah bahwa pengungsian penduduk Hijaz itu adalah juga disebabkan oleh penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran Wahabi yang secara politik dipaksakan oleh penguasa Saudi. Lihat Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 177-179
[10] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Prenada, 2004), h. 51
[11] Ibid, h. 52
[12] Ibid
[13] Dan di Saudi sendiri pasca dibukanya kerjasama tersebut, universitas-universitas yang tersebar di Arab Saudi seperti Imam Muhammad ibn Sa’ud Islamic University, King Saud University keduanya di Riyadh, Ummul Qura University di Mekah, Islamic University of Madina di Madinah, dan Syari’ah Faculty di Propinsi Al-Qasim, membuka ruang seluas-luasnya kepada orang-orang Indonesia yang ingin belajar di negara ini, dengan memberikan beasiswa penuh selama menempuh pendidikan dan biaya akomodasi.
[14] Akomodasi Islam oleh Orde Baru dimulai setelah fase penerimaan azas tunggal (pancasila) tahun 1985 oleh organisasi masyarakat maupun organisasi politik dianggap selesai . Akomodasi ini dimulai dengan didirikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 7 Desember 1990. Walaupun pendirian organisasi ini bukan atas prakarsa Soeharto tetapi dengan dipilihnya BJ. Habibi sebagai orang dekatnya menunjukkan keterkaitan dan upaya akomodasi Islam dimulai. Hal ini dilakukan Soeharto mengingat dukungan tentara yang mulai melemah, dan demi menjinakkan Islam “modernis”. Politik akomodatif ini menurut Bachtiar Efendi (1998) setidaknya ada empat poin yang ia sebutkan sebagai bukti-bukti akomodasi tersebut, pertama akomodasi struktural; yakni terakomodasinya tokoh-tokoh muslim yang masuk pada lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan lembaga legislatif negara sebagai contoh sejumlah menteri Muslim sekitar 88% (jumlah yang dianggap proporsional dengan jumlah umat Islam Indonesia) dipilih pada periode 1993-1998 (Adam Schward, 1994). Kedua akomodasi legislatif; yakni akomodasi peraturan pemerintah yang berhubungan dengan kebijakan seperti disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989, diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, diubahnya keputusan pelarangan jilbab pada tahun 1991, dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan Badan Amil Zakat dan Shadaqah (Bazis), dan dihapuskannya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB)  tahun 1993. Ketiga akomodasi infrastruktural; yakni penyediaan infrastruktur yang diperlukan oleh umat Islam dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Salah satu bentuk yang paling fenomenal adalah kesediaan negara untuk tidak sekedar mengizinkan melainkan juga membantu pendirian Bank Islam, yaitu Bank Muamalat Islam (BMI). Dan keempat akomodasi kultural. Yakni terakomodasinya budaya Islam dalam acara-acara resmi kenegaraan, atau yang lebih simbolis seperti diadakannya Festival Istiqlal. Anas Saidi (ed), Menekuk Agama Membangun Tahta; Kebijakan Agama Orde Baru, (Depok: Desantara, 2004), h. 104-108
[15] Lihat R. William Lidlle, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed), Jalan Baru islam; Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), cet ke-1, h. 304
[16] R. William Lidlle, “Skripturalisme Media Dakwah … ibid
[17] Imdadun Rahmat, Op Cit, h. 116
[18] At-Turats (Yayasan Majelis At-Turats Al-Islami) berada di Yogyakarta merupakan cabang Asia Tenggara yang berkedudukan di Jakarta. Yayasan ini telah memiliki beberapa sekolah dan sedang mempersiapkan yang lainnya. Secara resmi hanya lima lembaga yang dimilikinya, selain itu yayasan ini memiliki jaringan informal yang lebih luas dengan sekolah-sekolah yang juga menerima bantuan dari Kuwait. Imdadun Rahmat, Op Cit, h. 125
[19] Keterkaitan antara pembukaan LIPIA dengan upaya transmisi wahabisme ini seperti yang ditulis Rahmat (2005) bahwa upaya membuka cabang di Indonesia ini diawali dengan datangnya Syekh Abdul 'Aziz Abdullah Al-Ammar, seorang murid tokoh paling penting salafi di seluruh dunia Syekh Abdullah bin Baz ke Jakarta. Ia diutus untuk bertemu dengan Muhammad Natsir di Jakarta. Dalam pertemuan itu Muhammad Natsir bersedia menjadi mediator dengan pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Natsir dan DDII memegang peran penting dalam rekrutmen mahasiswa-mahasiswa baru. Maka sejak awal berdirinya lembaga ini, sebagaian besar mahasiswa di LIPIA berasal dari lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki jaringan dengan DDII, misalnya; Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Imdadun Rahmat, Ibid, h.100
[20] Cabang ini awalnya bernama LPBA (Lembaga Pengajaran Bahasa Arab), dan dikemudian hari berganti nama menjadi LIPIA (Lembaga Ilmu Islam dan Sastra Arab) setelah dibukanya fakultas Syari’ah dan program diploma. Lembaga ini membuka ruang seluas-luasnya bagi mereka yang ingin mengenal dan mendalami pemikiran-pemikiran ulama salafi. Lembaga ini merupakan cabang ketiga setelah Djibouti dan Mauritania. Imdadun Rahmat, Op cit, h.99
[21] Imdadun Rahmat, Ibid. Namun demikian pengaruh wahabisme dalam bentuk gerakan revolusioner radikal yakni gerakan pemurnian yang dilakukan secara konfrontatif, telah ada ketika terjadinya peralihan inspirasi pembaruan oleh para pendukung terkemuka kaum Padri—terutama Tuanku Nan Renceh, dari cara-cara evolusioner dengan pembaruan tarekat Sathariyyah, Naqsabandiyah, dan Qadiriyah, kemudian berubah melalui cara-cara radikal-frontal.[21] Dalam hal ini Azra mengemukakan: “Setelah gagal membujuk Tuanku Nan Tuo untuk mengubah pendekatannya secara evolusioner dan damai terhadap pembaruan Islam, Tuanku Nan Renceh mendapatkan para pendukung kuat dalam diri tiga haji yang kembali dari Makkah pada 1218/1803: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Perjalanan ibadah haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekah oleh kaum Wahabi. Karena itu cukup beralasan jika mereka dianggap dipengaruhi ajaran-ajaran Wahabi, seperti penentangan terhadap bid’ah penggunaan tembakau, pemakaian baju sutera, yang mereka usahakan pula untuk menyebarkannya secara paksa di wilayah Miangkabau.” Azyumardi Azra, Op cit, h. 371
[22] Kuliah umum ini diadakan seminggu sekali yang kerapkali dihadiri oleh tokoh-tokoh wahabi Saudi, dan terkadang juga melibatkan tokoh nasional yang nota bene alumni Timur Tengah khususnyua Univesitas Islam Madinah seperti Hidayat Nurwahid, Salim Segaf Al-Jufri, dan lain-lain.
[23] Hal ini pernah terjadi pada Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid (w. 1997)—pendiri pondok pesantren Al-Mujahidin sebagai cikal bakal pondok pesantren Nahdlatul Wathan dan organisasi masyarakat Nahdlatul Wathan—pesantren yang dipimpinnya dituding oleh sebagaian masyarakat sebagai pusat pengembangan aliran Wahabi. Tudingan  atas penyebaran paham keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran para tuan guru pada waktu itu, karena pembaruan sistem pendidikan dari sistem halaqah menjadi sistem semi klasikal. Sistem klasikal secara umum dilihat dari metode belajar mengajar yakni cara mengajar berdiri, iuran bulanan siswa, memakai buku-buku yang ada gambar hewan, dan khususnya mengajak santri menerjemahkan al-Quran, adalah contoh-contoh yang dipergunakan sebagai bahan untuk memberikan penilaian negatif.
Hal serupa pernah pula dituduhkan kepada Tuan Guru Musthafa Umar Gunungsari Lombok Barat, pada tahun 1982 setelah kepulangannya dari Mekah. Ia mendirikan Pondok Pesantren Al-Aziziyah di kampungnya, berselang lima tahun kemudian pesantren ini mengalami kemajuan yang pesat dengan mendirikan sekolah formal dan mampu membangun kelas dan asrama hingga lima lantai. Karena kemajuannya yang demikian, pesantren ini dituduh sebagai pesantren wahabi yang dikait-kaitkan dengan kepulangan tuan gurunya dari Mekah dan dalam waktu singkat mampu membangun pesantren yang demikian besar. Wawancara dengan Tuan Guru Musthafa, (Gunungsari Lombok Barat,15 Maret 2007)
[24] Lihat misalnya Jamaluddin, Islam Sasak; Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok (Abad XVI-XIX), (Jakarta: Pps UIN Syarif Hidayatullah, 2004) Tesis, tidak diterbitkan. h. 299. Menurutnya peluang masyarakat lombok mengenal dunia luar lebih besar dengan banyaknya kapal-kapal yang singgah di kota-kota bandar di Lombok seperti Ampenan di wilayah barat Labuhanhaji di di timur, dan di antara kapal-kapal tersebut ada yang menuju Timur tengah selain India.
[25] Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial; Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005), h.
[26] Agaknya inilah yang menyebabkan tudingan wahabi terhadap Tuan Guru Musthafa Umar (terjadi sekitar tahun 1982) tidak begitu santer dan memengaruhi masyarakat luas.
[27] Sebagaimana yang dikatakan salah seorang koordinator dakwah Wahabi wilayah NTB bahwa, para penganut wahabi merasakan bebas dalam berdakwah pada era reformasi ini. Sebelumnya mereka selalu was-was takut diciduk karena dianggap sebagai gerakan Islam anti pemerintah.
[28] Karena ciri khas secara fisik ini pula yang menyebabkan munculnya istilah dan sebutan khas yang ditujukan kepada kelompok ini seperti, da’i kompor, dengan baok (orang berjenggot), sulapi (dari kata “salaf” yang diplesetkan), dan sebagainya.
[29] Wawancara Tuan Guru Musthafa Umar, Op Cit. Untuk memperkuat argumen tersebut, Tuan Guru Musthafa kemudian memperdengarkan rekaman pengajian wahabi yang antara lain menyatakan; “ape jaq perlunde gen pade turut loq Syafi’i, loq Hanafi, loq Hambali, ndeq te pade perlu turut ye pade, sengaq selapuq ape saq gen te pade gaweq ibadah wah araq doang care-carene, ntan tegaweq, kance keteranganne leq hadis saheh…” (Apa sih perlunya kita mengikuti Syafi’i, Hambali, Hanafi, tidak perlu kita mengikuti mereka, karena semua ibadah yang akan kita lakukan sudah ada semua cara-caranya, (baik) cara mengerjakannya, (maupun) keterangannya dalam hadis sahih).
[30] Muhammad bin Muhammad bin Abdussalam Khudhar Assalafi, Al-Minhah Al-Muhammadiyah fi bayani al-‘Aqaid As-Salafiyah, (terj) Pemurnian Syariat Menurut Salaf, Fauzi Saleh Lamno, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), Cet ke-1, h. 15-21
[31] Masuknya Islam di Gumi Sasak (lombok) diperkirakan telah mulai sejak abad ke-15 seiring dengan kedatangan para pedagang muslim yang bermukim dan berniaga di Lombok. Beberapa tahun kemudian penyebaran Islam secara intensif dilakukan oleh Sunan Prapen dari Giri (Jawa), sekitar tahun 1505-1545 M. (abad ke-16). Pengislaman pertama kali dilakukan kepada penduduk Salut (Lombok Barat bagian utara) dan sekitarnya, kemudian Sunan Prapen melanjutkan perjalanannya ke Labuhan Lombok desa Menanga Baris yang merupakan ibu kota kerjaan Mumbul, pada masa pemerintahan raja Rangkesari. Setelah raja Lombok dan rakyatnya terislamkan Sunan Prapen melanjutkan misi dakwahnya ke daerah sekitar, yang merupakan kedatuan-kedatuan (raja kecil) yang berada di bawah kerajaan Lombok., seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Suradadi, Sokong, Bayan, dan kedatuan Sasak. Jamaluddin, Op Cit, h. 309
[32] Boda merupakan kepercayaan asli masyarakat Sasak. Orang Sasak yang menganut kepercayaan ini disebut sasak-boda. Kendati nama kepercayaan ini (Boda) mirip dengan Budha, namun kepercayaan ini tidaklah sama karena Sasak-Boda. Mereka tidak mengakui Sidharta Gautama atau Sang Budha sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Fokus utama dari praktik keagamaan Sasak-Boda terutama ditandai oleh animisme dan panteisme, serta pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan. Erni Budiwanti, Islam Sasak; Wetu Telu versus Waktu Lima, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h.8
[33] Tidak menjawab salam orang yang dianggap ahlul bid’ah merupakan sikap yang biasa ditemui pada komunitas-komunitas wahabi, khususnya di Lombok.
[34] Agaknya ini merupakan pengaruh adagium “lebih baik duduk bersama anjing daripada dengan ahlul bid’ah”. Wawancara dengan Ustad Azmil Umur, Op Cit
[35] Tugas sosial yang dimaksud di sini adalah tugas perempuan dalam tradisi sasak yang berpartisipasi dalam mensukseskan acara pada hari-hari besar Islam atau hari-hari besar lainnya seperti acara perkawinan, sunatan dan lain sebagainya, yang menyiapkan dan memasak makanan bersama. Atau tugas lainnya seperti mengantarkan beras kepada keluarga yang meninggal—disebut belangar.
[36] Berdakwah. Seorang tuan guru bukan dikunjungi melainkan mengunjungi masyarakat yang akan diajarkan pengetahuan agama.
[37] Pengerusakan dan pengusiran oleh ratusan warga terhadap seluruh komponen Pondok Pesantren Ihiya' Ussunnah ini terjadi pada 4 April 2006. Lima bangunan pondok hampir rata dengan tanah. Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Barat meminta penganut wahabi mengubah cara berdakwah mereka. Menurut Sekretaris MUI, Tuan Guru Mahally Fikri, penyebaran ajaran itu tak dikemas sesuai dengan kultur agama yang dianut warga, sehingga warga menjadi tersinggung dan terjadi tindak anarkis.”  Tempo Interaktif, 07 April 2006 | 07:17 WIB.
[38] Salah satu contoh dalam hal ini seperti yang penulis alami pada acara pemakaman di Narmada Lombok Barat (11/07/2006). Ada beberapa orang penganut wahabi (yang bisa dikenali secara langsung dengan ciri khasnya) yang menghadiri acara pemakaman tersebut. Ketika jenazah telah selesai diuruk mereka berdoa sendiri dan langsung meninggalkan acara tanpa mengikuti acara yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini menimbulkan kegeraman dan dilihat sebagai tindakan kasoan (kurang ajar, tidak menghormati) terhadap keluarga yang meninggal.
[39] Pengerusakan dengan pembakaran ini terjadi pada bulan November 2005, ribuan warga Desa Sesela menyerbu Pondok Pesantren Ubay bin Kaab di Dusun Kebon Lauk yang dipimpin oleh Ustad Fathul ‘Aziz, dikarenakan tak membacakan talqin dalam prosesi penguburan jenazah dan doa qunut ketika salat Subuh. Tempo Interaktif, Op Cit
[40] Tempo Interaktif, Ibid
[41] Pemukulan dan pengusiran oleh masyarakat Gelogor terhadap beberapa orang penganut wahabi yang dikomandoi oleh H. Madiun. Sebagaimana diceritakan oleh Sanahar, Keliang (Kepala kampung) Gelogor Oktober 2006.
[42] Ustad Fathul ‘Aziz, Ceramah di Masjid Gomong Mataram, 20 Juni 2006
[43] Ustad Fathul ‘Aziz… ibid
[44] Ustad-ustad ini antara lain; (1) Ustad Burjan Efendi, dulunya adalah pembantu mustami’ (pembimbing tahfidz) di Lembaga Tahfidz Pondok Pesantren Al-Aziziyah Gunungsari Lombok Barat dan salah satu staf pengajar pada Lembaga Diniyah di pondok pesantren yang sama, sekarang menetap di Solo, (2) Ustad Nurman, dulunya adalah mustami’ (pembimbing tahfidz) di Lembaga Tahfidz Pondok Pesantren Al-Aziziyah Gunungsari Lombok Barat dan salah satu staf pengajar pada Lembaga Diniyah di pondok pesantren yang sama, sekarang menetap di Bogor, (3) Ustad Yoyok Wardoyo staf pengajar di Madrasah Aliyah sekarang menetap di Mataram. Mereka keluar atau dikeluarkan karena sebagai penganut wahabi yang oleh pimpinan pondok pesantren (Tuan Guru Musthafa Umar) melarang paham ini di lingkungan pesantren. Alasan pelarangan ini antara lain; pertama pesantren tidak mau dikenal di luar sebagai penganut wahabi—hal ini akibat trauma masa-masa awal pendirian pesantren (lihat catatan kaki no.36), kedua banyak para wali murid menarik anak-anaknya dari pesantren karena alasan di rumah anaknya berprilaku “aneh”—tidak qunut subuh—menurut mereka.
[45] Alasan mereka dalam hal ini adalah hadis Nabi yang mewajibkan seorang muslim memenuhi undangan saudaranya. Wawancara dengan Ustad Burjan Efendi, 9 Februari 2007
[46] Akan tetapi dalam hal-hal yang bersifat akidah tetap tidak ada kompromi. Namun demikian secara perlahan masyarakat bisa dialihkan untuk tidak melakukan hal-hal yang mendekatati kesyirikan, antara lain dengan cara menyibukkan masyarakat dengan hal-hal yang penting seperti peningkatan ekonomi, dan berupaya mengalihkan wacana mereka dengan tidak membicarakan hal-hal yang mendekati kesyirikan tersebut seperti ziarah kubur, azimat, kelebihan atau karamah wali dan lain sebagainya.
[47] Sejalan seperti yang dikatakan Endang Turmudi (2003) tentang kekiaian di Madura dan Sunda yang berbeda dengan di Jawa, maka ketuanguruan di Lombok juga bersifat terbuka, artinya ketuanguruan lebih berorientasi prestasi dan tidak dibentuk secara genealogis seperti di Jawa. Sepanjang seseorang mempunyai pengetahuan keislaman yang luas dan mampu mengimplementasikannya dengan baik, maka anggota masyarakat dengan mudah menggugu dan menirunya dan mengakuinya sebagi tuan guru. Dengan kata lain, ketika kepercayaan masyarakat telah terbangun maka akan dengan mudah mengarahkan mereka melakukan seperti yang dikehendaki tuan guru yang kadang tanpa reserve. Lihat Endang Turmudi, Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East java. (terj.) Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKIS, 2004), Cet ke-1, Bandingkan dengan Badrun A.M, Tuan Guru dan Istikaharah politik dalam Membongkar Misteri Politik NTB. (Yogyakarta: Genta Press, 2006), Cet ke-1
Share:

Recent Posts

Labels