Sejarah pesantren merupakan sejarah panjang membangun infrastruktur
sosial, budaya dan juga moral masyarakat karena pesantren merupakan
salah satu perwujudan kesadaran untuk bangun dan melawan. Bangun dari
kertinggalan lalu melawan kebodohan, barangkali hal ini korelatif dengan
visi yang diemban oleh pesantren, yaitu membentuk kader-kader yang
memiliki karakter yang kuat, baik karakter sosial, budaya dan yang
lebih penting adalah terbentuknya kader yang memiliki keimanan yang
kuat. Artinya pesantren pada konteks ini memiliki peran yang sangat
signifikan bagi terciptanya sebuah perubahan, perubahan dari keadaan
yang tidak baik menjadi lebih baik, perubahan dari kondisi yang statis
menjadi dinamis. Tulisan ini akan mencoba mengajak pembaca untuk melihat
peluang dan tantangan pesantren berperan optimal sebagai institusi yang
pada satu sisi tetap menegakkan pilar-pilar keimanan dan keislaman, dan
di sisi lain pesantren juga sebagai instrumen perubahan di era global
yang rentan dengan terjadinya dekadensi moral dan degradasi iman.Selengkapnya ... http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/elhikam/article/view/1914
Minggu, 17 Agustus 2014
JEJAK DAN JEJAKAN WAHABISME DI LOMBOK
Unknown22.47.00gerakan wahabi, lombok salafi, Lombok wahabi, proses transmisi wahabi, salafisme, transmisi wahabisme, wahabisme
(Proses Transmisi dan Akulturasi Wahabisme)
Sabirin, M.Si
Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Ulul Albab Volume I Nomor 1 Pebruari 2014
Wahabi
satu dari sekian gerakan Islam puritan, yang sebelumnya tiarap dan hanya
menjadi kelompok-kelompok sel dan termarjinalkan terlihat paling menonjol
akselerasi dan penetrasinya dalam membangun jejaringnya di tengah komunitas
Islam Indonesia. Dalam kurun waktu tidak begitu lama kelompok ini telah
membangun kekuatan dan basisnya di berbagai daerah yang “dikuasai” kelompok-kelompok
Islam moderat semisal NU, Muhammadiyah, NW, dan lain-lain. Tak terkecuali di
Nusa Tenggara Barat, dan di Pulau Lombok khususnya, komunitas wahabi ini hampir
mencover keseluruhan wilayah Lombok mulai dari kota hingga ke pelosok-pelosok
desa. Walaupun dari segi kuantitas jumlah penganut wahabi di Lombok tidak
terlalu signifikan, akan tetapi jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang
mereka praktekkan secara real mampu mempengaruhi, menyihir dan mendapat tempat “khusus”
di hati masyarakat Islam Sasak.
Kata kunci: Tuan Guru, Wahabi, Lombok
Pendahuluan
Gerakan dan pemikiran Islam di Timur
Tengah mempunyai pengaruh luas terhadap pemikiran dan gerakan di Indonesia,[1]
meskipun ada juga perbedaan penting baik dalam substansi maupun bentuknya.
Timur Tengah yang dipersepsikan sebagai pusat Islam memiliki daya tarik
tersendiri, sehingga gagasan, pemikiran, dan gerakan yang berasal dari Timur
Tengah akan dengan mudah diterima, dianut, disosialisasikan, dan dipraktekkan,
serta menjadi menjadi rujukan bagi gerakan Islam di hampir seluruh dunia. Samuel
P. Huntington (2000) mencatat, bahwa kebangkitan Islam di Timur Tengah memiliki
pengaruh terhadap setiap umat Islam di berbagai belahan dunia, dan terhadap
aspek-aspek kehidupan sosial politik umat Islam di sebagian besar negara yang
berpenduduk Muslim.
A.
Kebangkitan
Wahabisme dan Transmisinya
Salafisme merupakan ideologi
yang menganjurkan untuk kembali sepenuhnya kepada teladan orang-orang
terdahulu, biasanya merujuk kepada Nabi dan sahabatnya. Ideologi ini juga
menyerukan penghapusan terhadap tibunan-timbunan masa lalu, takahyul, dan
taklid buta kepada preseden hukum atau mazhab pemikiran hukum tradisional. Oleh
karena itu salafisme mengajak untuk menghidupkan kembali penggunaan ijtihad
(pemikiran hukum independen) dengan kembali kepada sumber-sumber asli yaitu
Al-Qur’an dan Sunah.[2]
Adapun wahabi (wahabiyyah)
adalah pengikut ajaran-ajaran puritan yang ketat dari Muhammad Ibn ‘Abd
al-Wahhab (w. 1207 H/1792 M). Wahabi memusuhi takhayul-takhayul para wali,
ziarah makam para wali, sufisme, syi’isme, dan metode-metode rasional dalam
menarik kesimpulan hukum. Keyakinan wahabi sangat mencolok dalam mengekang kaum
perempuan. Ajaran ini dominan di Arab Saudi dan banyak belahan dunia muslim
lainnya.[3]
Hal yang membedakan keduanya
adalah gerakan Wahabi memiliki karakter khusus yakni memerangi secara
konfrontatif segala bentuk syirik dan khurafat, menyerukan kemurnian tauhid
dengan pemahaman sederhana. Dan yang paling menonjol perbedaannya dengan Salafi
sebelumnya adalah upayanya dalam memerangi segala penafsiran ayat-ayat maupun
hadis-hadis tentang pelbagai sifat Allah, dan menolak penafsiran hukum Allah
secara historis dan kontekstual dengan kemungkinan adanya penafsiran ulang
ketika kondisi berubah, dengan kata lain, Wahabisme menerapkan literalisme teks
yang ketat terhadap realitas.[4]
Kemunculan aliran Salafiyah
di tangan Abdul Wahab ini menurut Rahmat (2005), mewarisi kecenderungan
orang-oraang sebelumnya dalam memahami teks-teks syari’at secara harfiah,
mengenyampingkan kajian akan beragam tujuan makna, serta sebab musabab yang
melatarbelakangi hukum-hukum tersebut. Ini berbeda dengan dua imam aliran utama
mereka, Syekh Ibn Taimiyah maupun Ibn Al-Qayyim.[5]
Bagian
mendasar dari keyakinan kelompok Wahabi ini adalah kepercayaannya bahwa Islam
hakiki adalah Islam yang dipraktikkan semasa Nabi, Khalifah Rasyidun yang
empat, dan khalifah kelima ‘Umar bin ‘Abd ‘Aziz (memerintah tahun 717-720 M).
Sejarah Islam sesudah itu adalah sebentuk penyelewengan karena kaum Muslim
pramodern terjerumus ke dalam kebiasaan menggunakan cara berpikir yang penuh
dalih intelektual (intellectual sophistry),
terpisah-pisah ke dalam berbagai mazhab pemikiran, dan terpecah-pecah menjadi
berbagai cara pandang yang saling bersaing.
Kebangkitan Wahabisme tidak lepas dari peran keluarga Su’ud yang berhasil
membentuk pemerintahan keamiran di Dar’iyyah pada tahun 1725 M. Persekutuan
simbiosis-mutualisme antara Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (w. 1787 M) yang
reformis agama dengan Muhammad ibn Su’ud (w. 1814 M) sebagai penguasa lokal
yang kuat dan ambisius menjadikan persekutuan ini memungkinkan mewujudkan
cita-cita keduanya—berjalannya Islam sesuai dengan paham ‘Abd al-Wahab,
kekuasaan dan kehormatan bagi ibn Su’ud sebagai cita lainnya.
Pasca ditinggalkan oleh kedua pelopor persekutuan ini dan berakhirnya
kekuasaan Saudi I di Hijaz dan di Dar’iyyah sebagai pusat politik dinasti Saudi
dengan pendudukan Muhammad Ali Pasya, bukan berarti persekutuan dua keluarga
berakhir dan wahabisme lenyap. Pada 1820 M wahabisme kembali menemukan momentum
kebangkitannya dengan dikuasainya Riyadh oleh dinasti Saudi dengan berkuasanya
Turki ibn Abdillah, hingga akhirnya paham ini dipaksa menyingkir ke Kuwait pada
tahun 1891 M pada masa pemerintahan ‘Abd al-Rahman ibn Faisal.
Periode kebangkitan kembali wahabisme dimulai ketika al-Syaikh Muhammad ibn
Sulaiman ibn ‘Abd al-Wahhab bersekutu dengan ‘Abd al-‘Aziz II ibn ‘Abd
al-Rahman—yang kemudian dikenal dengan ibn Su’ud, membangun kembali dinasti
Saudi pada tahun 1902 M dengan mengalahkan dinasti Rasyid. Berselang sepuluh tahun kemudian ibn
Su’ud memproklamirkan negaranya sebagai negara merdeka yang lepas dari kontrol
Turki Usmani.[6]
Segera setelah Abdul ‘Aziz
ibn Su’ud menguasai Nejd, ia mengkonsolidasikan kembali kekuatan-kekuatan Arab
Badui[7]
yang kembali liar karena tuntutan egoisme dan persaingan antar suku yang
mengkristal pasca dihancurkannya penguasa Su’ud secara militer oleh Muhammad
Ali (Gubernur Mesir) atas perintah Turki Usmani. Bagi Abdul ‘Aziz ibn Su’ud,
pembiaran terhadap kekuatan antar kelompok yang saling bersaing ini dapat mengancam
kelangsungan kepenguasaannya terhadap Hijaz secara keseluruhan. Oleh karena itu
ia menghidupkan kembali aktivitas Wahabi.[8]
Namun demikian, sosialisasi wahabisme tidak dapat dikatakan mudah diterima oleh
setiap lapisan yang ada di Mekah. Beberapa fakta historis yang ditunjukkan oleh
Badri Yatim dapat menjadi catatan penting dalam hal ini.[9]
Momen diserahkannya
kepenguasaan Hijaz (Mekah) terhadap Abdul Aziz ibn Su’ud oleh Ali ibn Husein
pada tahun 1925 M dapat dikatakan sebagai tonggak kebangkitan dan perkembangan
Wahabisme selanjutnya hingga pada abad 20. Tesis ini didukung oleh fakta bahwa
kota suci Mekah dan Madinah (Haramayn—dua haram) merupakan simbol umat Islam,
di mana kedua kota ini menduduki posisi penting dan sangat istimewa dalam
sanubari umat Islam. Mekah dan Madinah merupakan kota kelahiran Islam. Mekah
adalah qiblah, ke arah mana para penganut Islam menghadapkan wajahnya
dalam shalat, dan di mana mereka melakukan ibadah haji.[10]
Dan dengan dikuasainya tanah
suci ini maka bargaining position (nilai tawar) Wahabisme sebagai
pemahaman baru dalam Islam meningkat, mengingat signifikansi antara keutamaan
kota Mekah dan Madinah dengan kewajiban ibadah haji, serta kewajiban menuntut
ilmu sebagai bagian dari ajaran Islam, maka penilaian akan keutamaan ilmu yang
diperoleh di kedua kota ini melebihi tempat-tempat menuntut ilmu lainnya,
karena sebagaimana Azra (2004) bagi banyak muslim, khususnya di Nusantara,
ulama jebolan Haramayn dipandang lebih dihormati daripada mereka yang
memperoleh pendidikan di tempat lain di mana pun.[11]
Proses sosialisasi dan
penyebaran wahabisme semakin mudah dikarenakan sebagaimana dikatakan Azra lebih
lanjut bahwa, “Dengan datang dan perginya jamaah haji setiap tahun, Mekah dan
Madinah menjadi tempat pertemuan terbesar kaum muslim dari berbagai penjuru
dunia. Haramayn adalah pusat intelektual Dunia Muslim—ulama sufi, filosof,
penyair, pengusaha, dan sejarawan Muslim bertemu dan saling menukar informasi”.[12]
Bentuk sosialisasi yang
langsung ditemukan ketika jamaah haji menginjakkan kakinya di bumi Arab Saudi
adalah ciri khas pakaian dan pemisahan laki-laki dan perempuan di ruang publik.
Bentuk lainnya adalah seperti yang diperlihatkan oleh petugas amar ma’ruf nahi
munkar yang kerapkali mengusir jamaah haji yang berlama-lama di makam
Rasulullah dan para sahabatnya.
Selain itu, pengakuan Jumhur
ulama Mesir di awal abad ke-20 yang mengakui bahwa gerakan Wahabi adalah
Sunni—termasuk dalam golongan ahlussunnah wal jamaa’ah, menjadi salah
satu faktor diterimanya ajaran Wahabi di tengah umat Islam dunia. Karena
menurut jumhur ulama Mesir ini Wahabi secara teologis menganut aliran Salaf dan
dalam bidang fikih menganut Mazhab imam Ahmad ibn Hanbal.
1.
Proses
Transmisi di Indonesia
Indonesia tak terkecuali—terutama pasca
reformasi—di berbagai daerah perkembangan gerakan Islam dapat dilihat melalui
tumbuhnya organisasi-organisasi Islam baru yang berbeda dengan
organisasi-organisasi lama seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, NW
(Nahdlatul Wathan), dan lain-lain. Organisasi-organisasi yang sering disebut
sebagai “Gerakan Islam Baru” (new Islamic
movement) ini dapat dilacak asal muasal pemikirannya dari berbagai
organisasi gerakan Islam Timur Tengah. Gerakan Tarbiyah misalnya, gerakan ini
dari sisi pemikiran sangat dekat dengan Ikhwanul Muslimin, bahkan menyebut
dirinya ‘anak ideologis’ Ikhwanul Muslimin. (Rahmat, 2005). Hizbut Tahrir
Indonesia secara resmi menjadi cabang Hizbut Tahrir Internasional yang berpusat
di Yordania. Dan Wahabi—penganut wahabisme, mereka menamakan diri dengan Dakwah
Salafi—adalah himpunan dari para aktifis Wahabi yang berjejaring dengan gerakan
Wahabi di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Kuwait.
Menjadi ajaran dan paham yang
didukung sepenuhnya oleh negara yang menggabungkan dan mengkombinasikan
kekuatan dan mobilitas ideologi, serta dukungan kekayaan yang melimpah—terutama
pasca bom minyak di tahun 1970-an, menjadikan wahabisme dengan mudah melakukan
penetrasi ke negara-negara Islam lainnya.
Perkembangan Wahabi dengan
pembiayaan Arab Saudi dan Kuwait mulai penghujung tahun 1970-an dan 1980-an
mulai merambah lokus-lokus Muslim di seluruh belahan dunia. Bahkan Khaled Abou
El-Fadl dalam bukunya And God Know The
Soldier: The Authoritative and
Authoritarian in Islamic Discourse (2001) meyakini bahwa Wahabisme
telah menjadi sistem pemikiran yang dominan dalam dunia Muslim, termasuk
Indonesia.
Dengan kekayaan tersebut Arab
Saudi berupaya meneguhkan Wahabisme yang berwajah salafi melalui pemberian
bantuan dan kerjasama pendidikan dengan lembaga-lembaga di Indonesia yang seide
dengannya, seperti Persis, Al-Irsyad, maupun organisasi-organisasi puritan
modernis seperti Muhammadiyah dan DDI (Dewan Dakwah Islamiyah).[13]
Pemberian bantuan (sumbangan) juga diberikan dalam bentuk buku-buku dari
maejlis fatwa ulama Saudi seperti Syekh Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syekh Sholeh
Al-Utsaimin, dan kaset ceramah.
Selain itu upaya penyebaran
ini juga terdukung dengan keterbukaan dan akomodasi Orde Baru[14]
terhadap Islam pada pra reformasi, dimana elemen-elemen Islam diakomodir oleh
pemerintah dalam lini kehidupan bernegara, sehingga setiap gerakan Islam cukup
bebas menjalankan agenda organisasinya masing-masing termasuk Wahabi.
Dan menjadi kenyataan seperti
yang diprediksikan oleh R. William Liddle[15]
bahwa Islam skripturalis akan menemukan matamorfose kebangkitannya. Ia
menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan kebangkitan tersebut. Pertama, kebanyakan
kaum muslim Indonesia mudah menerima ajaran-ajaran Islam skripturalis. Kedua,
aliansi politik antara kaum skripturalis dengan kelompok-kelompok sosial lain
yang sedang tumbuh, dan ketiga, nafsu besar para politisi ambisius untuk
membangun basis massa.[16]
Setelah Indonesia memasuki
era reformasi dengan tumbangnya rezim Orde Baru dan dengan dibukanya kran
kebebasan, wahabisme semakin leluasa dan bebas bergerak dalam mengembangkan
sayapnya, dan semakin leluasa memengaruhi wacana publik Islam, baik secara
langsung atau melalui media cetak maupun elektronik. Adapun pendirian
yayasan-yayasan dan lembaga-lembaga pendidikan (pesantren) serta pembangunan
masjid sebagai strategi utama penyebaran ajaran Wahabi semakin gencar hingga ke
pelosok-pelosok desa, dan tidak lagi berkompetisi dengan misionaris Kristen,
akan tetapi dakwah yang mereka lakukan lebih kepada internal Islam. Upaya
merambah kampus-kampus juga semakin giat dilakukan, tujuannya antara lain
menjadi sumber rekrutmen kader yang lebih potensial untuk melakukan misi
dakwah.[17]
Kemajuan teknologi informasi
juga dimanfaatkan oleh para penganjur wahabi dalam menyebarkan misi, memperkuat
posisi, dan mempertegas keberadaan mereka di tengah masyarakat. Perkembangan
media (terutama penerbitan) yang berada di bawah bendera dakwah wahabi ini
dapat menjadi ukuran luasnya penyebaran paham ini. Media penerbitan yang berada
di bawah bendera paham ini hampir menguasai beberapa daerah di Indonesia,
setelah Jakarta sebagai basis paham ini, selanjutnya berkembang ke
daerah-daerah lainnya lainnya seperti Bogor, Yogyakarta, Solo, dan beberapa
kota lainnya di Indonesia.
Namun demikian, penyebaran
Wahabi di Indonesia juga dilakukan oleh alumnus Madinah (Al-Jaami’atul
Islamiyah—Islamic Univercity of Madina) maupun alumnus Mekah (Ummul Qura
Univercity), mereka saling mendukung dan ambil bagian dalam penyebaran
ide-ide wahabi ke tengah masyarakat, karena tidak sedikit pula dari mereka yang
menjadi alumnus keduanya (antara LIPIA dan Mekah maupun LIPIA dan Madinah),
bahkan antara mereka bisa dikatakan berada dalam jejaring yang sama dalam
program penyebaran ini. Abu Nida misalnya—seperti yang ditulis Rahmat
(2005)—bersama dengan beberapa alumnus Timur Tengah yang lebih yunior membentuk
cabang At-Turats di Indonesia.[18]
Upaya transmisi dan awal
pembentukan jejaringnya secara legal ditandai dengan dibukanya LIPIA (Lembaga
Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab)[19]
sebagai cabang ketiga Universitas Muhammad Ibn Saud di Indonesia pada tahun
1980,[20]
dan menurut Rahmat (2005), inilah yang menjadi momentum persentuhan awal
(secara langsung) para aktivis salafi di Indonesia dengan pemikiran salafisme
di Indonesia.[21]
Dengan terbentuknya LIPIA
maka persentuhan antara aktivis dakwah wahabi Saudi dengan Indonesia semakin
intensif, seiring didatangkannya tenaga dosen langsung dari Saudi. Sementara
frekwensi kunjungan para "petinggi" wahabi dalam mengisi kuliah umum
yang diselenggarakan oleh lembaga ini juga menjadi argumentasi lainnya dalam
mencermati intensitas persentuhan tersebut.[22]
Intensitas persentuhan melalui lembaga ini (sekaligus kontrol kegiatan
keseharian mahasiswa yang di asrama) menjadikan pemahaman yang kuat dan
kukuhnya jejaring transmisi selanjutnya, sehingga pencapaian terhadap misi
wahabisme dapat segera terwujud, dengan doktrin ajaran wahabi yang telah
tertanam dalam diri mereka.
Selain bantuan dan kemudahan
akses dana dari Organisasi Jam’iyyatul
Khairiyah yakni sebuah lembaga
donor kerajaan Arab Saudi yang menyediakan dana untuk pendirian yayasan-yayasan
wahabi, dananya juga diperoleh dari At-Turats lembaga donor yang berpusat di
Kuwait dan mempunyai beberapa cabang antara lain cabang Asia Tenggara berada di
Jakarta.
Dengan ketersediaan akses
yang terbuka melalui jejaringnya di Indonesia maka dengan mudah mendirikan
yayasan atau lembaga pendidikan sekaligus mengupayakan proses transformasi
ide-ide wahabisme ke tengah masyarakat, sekaligus merajut dan membangun kembali
jejaring barunya.
B.
Wahabisme
di Pulau Lombok
Transmisi wahabisme ke pulau Lombok di
era reformasi yang kemudian menunjukan kemajuan yang signifikan beranjak dari tahun
1993. Titik anjak kemajuan dakwahnya berawal di Masjid Jami’ Al-Muttaqien
Cakranegara—sebuah masjid yang terletak di jantung wilayah bisnis di Nusa
Tenggara Barat, dan masjid At-Taqwa Mataram yang terletak di jantung
pemerintahan Mataram. Dari kedua masjid inilah kemudian muncul simpatisan dari
kalangan pebisnis dan birokrat yang kemudian diduga kuat turut membiayai
kegiatan-kegiatan penyebaran dan dakwah wahabi berikutnya di Pulau Lombok.
Selang beberapa waktu dengan di didirikannya
Islamic Center di Cakranegara—sebagai pusat kegiatan dan pusat kontrol kegiatan
wahabi di wilayah NTB, dakwah wahabi kian menemukan momentum kemajuan, seiring
diangkatnya salah seorang ustadz asal Lombok sebagai koordinator dakwah wilayah
NTB pada tahun 1999.
Bentuk kemajuan yang paling penting dan
dapat dilihat di tahun-tahun pertama kelahiran Islamic center adalah menjamurnya
komunitas-komunitas mereka yang menyebar di Kota Mataram dan Lombok Barat,
terutama daerah-daerah penyangga kota seperti kecamatan Labuapi yang terletak
disebelah selatan kota, Kecamatan Narmada terletak disebelah Timur, dan
Kecamatan Gunungsari yang terletak di sebelah utara Kota Mataram.
Selanjutnya
komunitas-komunitas inilah yang secara intens menyebarkan wahabi langsung ke
tengah masyarakat Sasak dan mereka mengadakan pengajian atau acara-acara
keagamaan pada komunitas masing-masing secara bergiliran, dengan mendatangkan
da’i yang dikoordinatori oleh petugas Islamic Center. Sementara para petinggi
yang ada di Islamic Center berupaya melebarkan sayapnya ke kabupaten-kabupaten
yang ada di Pulau Lombok.
Pengembangan wahabi ini tidak
sebatas hanya dalam membentuk komunitas saja dalam menjalankan dakwahnya. Untuk
tujuan regenerasi, melalui rekomendasi koordinatornya, beberapa
anggota—terutama dari kalangan santri lokal yang ingin melanjutkan studi atau
memperdalam pengetahuannya, mereka dikirim ke pesantren-pesantren koleganya
yang ada di Bogor, Yogyakarta, maupun Solo. Bahkan ada di antara mereka yang
direkomendasikan melanjutkan studi ke luar negeri terutama Arab Saudi dan
Kuwait, sehingga nanti ketika kembali ke Lombok diharapkan akan dapat membangun
dan mengembangkan jejaringnya dengan sekup yang lebih luas, sehingga ajaran ini
terus menerus dapat bertahan di Pulau Lombok.
Dan untuk lebih mendekatkan
ajaran ini kepada generasi selanjutnya, seperti yang terdapat pada agenda utama
mereka adalah mendirikan lembaga pendidikan atau pesantren. Sementara ini
tercatat ada sekitar 30-an lebih lembaga pendidikan yang secara langsung
menggunakan kurikulum wahabi atau dengan kata lain pengajarannnya berbasis
wahabisme.
Secara umum upaya penyebaran
di pulau Lombok dilakukan melalui tiga cara, pertama melalui pendekatan
kepada kelompok-kelompok elit masyarakat, seperti pengusaha, dan tokoh. Kedua
dengan metode asimilasi yakni, para penganut wahabi menikahi gadis-gadis yang
bukan wahabi untuk kemudian diajak pindah ke kelompok mereka, dalam hal ini
para da’i wahabi mendapatkan insentif khusus dan nilai gaji mereka naik. Dan ketiga
melalui masjid-masjid atau mushalla, ada banyak masjid dan mushalla yang
dikelola oleh warga yang kemudian berubah menjadi milik kelompok mereka.
C.
Dialektika
Wahabi dan Masyarakat Sasak
Bagi daerah Nusa Tenggara Barat,
khususnya Pulau Lombok, ajaran (istilah) Salafi atau Wahabi bagi kalangan
tertentu sudah lama dikenal atau dipakai. Istilah Salafi atau Wahabi merupakan
istilah yang biasanya dimaknai negatif, bertentangan dengan tradisi yang telah
diajarkan Tuan Guru, atau dengan kata lain keluar dari pakem tradisi keislaman
masyarakat Lombok.[23]
Dan agaknya istilah ini telah berproses lama di Gumi Sasak seiring arus jamaah
haji yang menyerap informasi perkembangan Islam di Timur Tengah.[24]
Tidak ada yang tahu persis
kapan awal istilah ini muncul di pulau Lombok, namun diperkirakan istilah ini
muncul di tengah masyarakat Sasak atas propaganda Belanda yang digelontorkan
untuk mengkanter perlawanan masyarakat Sasak dan untuk memecah belah mereka (de
vide et impera), sejalan dengan yang dikatakan Ahmad Baso (2005) bahwa
dalam sejarahnya untuk tetap bertahan dalam menjajah Indonesia, para sarjana
Belanda mengusulkan agar kelompok puritan Wahabi diperkenalkan ke bumi Nusantara
untuk menjinakkan para ulama dan komunitas tarekat. Mereka tahu, menghabisi
komunitas tarekat hanya dengan cara memperkenalkan kelompok-kelompok puritan
Wahabi yang akan membabat habis praktik-praktik agama yang dianggap syirik,
takhayul, bid’ah dan khurafat. Tujuannya untuk menjauhkan komunitas ulama dan
pesantrennya terutama dengan kalangan petani.[25]
Demikian halnya yang ingin
dilakukan Belanda di Pulau Lombok, mereka ingin memecah antara pemangku adat
dan para tuan guru sebagaimana terpecahnya “kaum tradisi” yang disebut kaum tuo
dan “kaum pemurni” yang disebut kaum mudo di Sumatera, yang memuncak dengan
pecahnya perang Paderi, padahal tradisi yang dikembangkan dalam masyarakat
Sasak sejak awal adalah tradisi yang telah dimuati dengan ajaran-ajaran Islam.
Seiring kemerdekaan
Indonesia, dan perkembangan informasi yang diserap masyarakat, pelekatan
istilah wahabi kian tenggelam digantikan istilah “muhammadiyah”. Dengan kata
lain predikat negatif yang dilekatkan kepada seseorang yang dilihat menyimpang
dari segi ibadah—seperti tidak qunut subuh dan sebagainya—yang diajarkan Tuan
Guru dicap sebagai “muhammadiyah”.
Agaknya pergeseran ini
dipengaruhi oleh kompetisi organisasi keagamaan antara Nahdlatul Ulama (NU),
Nahdlatul Wathan (NW) yang mempertahankan pengaruhnya, dan pada sisi lainnya
Muhammadiyah sebagai “pemain baru” yang berupaya memengaruhi tradisi beragama
masyarakat Sasak. Hingga tahun 90-an istilah ini masih santer dipakai. Dan di
era akomodasi Islam oleh rezim Orde Baru pun istilah wahabi hanya dikenal
orang-orang tertentu yang yang mempunyai akses informasi yang cukup.[26]
Bangkitnya istilah wahabi
kemudian dikenal luas kembali terjadi setelah runtuhnya rezim Orde Baru dan
dimulainya Era Reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran kebebasan. Hal ini
terjadi seiring gencarnya dakwah Salafi di tengah masyarakat Sasak.[27]
Gencarnya proses tersebut dapat dilihat dengan maraknya dakwah para penganjur
ide-ide wahabi yang disusul kemudian dengan munculnya komunitas-komunitas kecil
dengan tatanan nilai yang berbeda dengan masyarakat Sasak, seperti cara
berpakaian, praktik beribadah, cara (metode) dakwah, dan sikap mereka dalam
berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat—yang lazim ditemui pada komunitas
wahabi pada umumnya.
Ciri khas pakaian yang bisa
dikenal langsung dari penganut ajaran wahabi ini berupa jubah, kopiah putih,
celana di atas mata kaki, dan berjenggot[28].
Dari cara ibadah yang praktiknya biasa terlihat yakni, mereka tidak qunut
subuh, membaca zikir dan berdo’a bersama setelah salat fardhu, membaca talqin
untuk mayit sewaktu acara penguburan, azan jumat hanya sekali, dan
sebagainya. Selain itu mereka mengakui bahwa mereka tidak mengikuti salah satu
Mazhab, akan tetapi mereka mengikuti (mempraktikkan) cara ibadah sebagaimana
yang tertulis dalam teks secara apa adanya, serta mengikuti anjuran dan
ajaran-ajaran para gurunya saja. Menurut Tuan Guru Musthafa, inilah yang
membedakan wahabi di Mekah dengan yang ada di Lombok.[29]
Dalam memandang dan melihat
kondisi masyarakat, para penganut wahabi di Lombok cenderung memvonis bahwa
umat Islam di Lombok tidak lebih baik dari penganut Hindu yang syirik sebagai
penyembah batu dan kuburan, dan tidak jauh berbeda dengan penganut wetu telu
yang berlaku bid’ah. Praktik agama popular masyarakat seperti pengkeramatan
para wali, para tuan guru, dan makam-makam mereka, serta peringatan hari-hari
besar Islam dikecam sebagai takhayul dan syirik, dosa terbesar dalam Islam.
Mereka mengecam akidah dan praktik ini sebagai bid’ah yang mengancam tauhid dan
umat Islam. Senada seperti apa yang dikatakan Abdussalam Khudhar (1986):
“Anggapan baik mereka terhadap bid’ah
akan membuka jalan yang menimbulkan ribuan dampak buruk bagi Islam dan menimpa
diri mereka dengan segala bentuk bala. Mereka telah melakukan kerusakan pada
diri mereka sendiri, agamanya, dan kemaslahatan duniawinya. Itu semua akibat
bergantinya akidah yang murni yang diturunkan dari langit, yang berasaskan
Al-Qur’an dan Sunnan.
Akidah mereka menjadi akidah bid’ah yang
dibuat-buat, maka berubah dari tuntunan tauhid menjadi syirik. Iman dan Islam
mereka hanya ucapan lisan…. Mereka menyeru, bersandar, bernadzar, bersumpah,
dan meminta pertolongan kepada selain Allah…”[30]
Praktik
takhayul, syirik, dan bid’ah tersebut dianggap sebagai pemicu dekadensi moral
di tengah masyarakat Sasak, sehingga hidup di tengah ikon “pulau seribu masjid”
menjadikan praktik-praktik tersebut semakin pantas dicela dan sepantasnya
dihapus dan digantikan dengan praktik-praktik salaf al-shalih, yakni
praktik jalan lurus Islam (praktik Islam sejati). Untuk itu harus dilakukan
pembaharuan yang hanya bisa dilakukan dengan mengulang reformasi besar Islam,
revolusi sosial dan moral yang dipimpin oleh Nabi Muhammad yakni kembali kepada
kehidupan umat yang secara ketat berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah Nabi
serta mengikuti teladan umat para salaf.
Agaknya ini terjadi karena
keterlepasan mereka dengan proses sejarah masuknya Islam ke Gumi Sasak[31]
yang akhirnya diterima secara luas. Akomodasi, yakni mengakomodir tradisi yang
ada ditengah masyarakat ke dalam praktik-praktik Islam—menjadi cara yang
dipakai oleh para tuan guru ketika memperkenalkan Islam terhadap Sasak-Boda[32].
Pendekatan yang ditempuh
adalah pendekatan titik temu dan rekonsiliasi tradisi antara penganjur Islam
(da’i) dengan masyarakat lokal. Dari sini kemudian solidaritas dimunculkan dan
dilestarikan melalui pengembangan tradisi-tradisi atau ritual-ritual jama’i
(kolektif), seperti ziarah kubur—yang kemudian berkembang dan ditujukan kepada
mereka yang berjuang memahamkan Islam pertama kali di suatu daerah atau kawasan
tertentu di Lombok, tawasul, dan haul (hultah), dan peringatan hari-hari besar
Islam.
Tradisi tersebut bukan barang
baru bagi masyarakat sebelum kedatangan Islam, namun oleh tuan guru hal
tersebut diisi dengan hal-hal positif (islami) agar bermanfaat dan berdampak
positif pula terutama dalam menumbuhkan solidaritas dan kesadaran untuk menjaga
kepentingan agama.
Dengan strategi tersebut tuan
guru dan masyarakat menjadi kreatif menggali dan menemukan sumber-sumber
solidaritas yang akan melebur sekat-sekat antara agama lokal (Boda) dan agama
pendatang (Islam), serta untuk tujuan yang lebih jauh yakni menangkal perubahan
dari luar yang akan menghegemoni pemahaman keislaman mereka, dan dengan
sendirinya menjadi hujjah bagi eksisnya kepemimpinan moral dan sosial
tuan guru di tengah masyarakat sampai kini. Oleh karena, tatanan nilai,
struktur budaya dan sosial masyarakat Lombok yang telah terbangun dan hidup di
tengah masyarakat (sebagaimana telah dijabarkan dalam bab III) adalah menjadi
tatanan dan struktur yang islami, bukan pemicu dekadensi moral apalagi
pengancam tauhid dan umat Islam seperti yang dituduhkan oleh penganut wahabi.
Doktrin yang menolak ziarah
kubur, pengkeramatan terhadap wali-wali, dan pemberian cap ahlul bid’ah
kepada para pelakunya turut memengaruhi sikap dan cara mereka dalam
berinteraksi (bergaul) antar sesama anggota masyarakat yang bukan dari kelompok
mereka—sikap yang umumnya lazim kita temui pada komunitas wahabi, yang “ketus”
terhadap pemahaman dan pelaku yang berbeda dengan mereka. Tidak menjawab salam,[33]
menolak do’a bersama, menolak duduk bersama dalam satu majelis,[34]
bahkan perempuan-perempuannya menutup diri dari pergaulan publik, terutama
dalam melaksanakan tugas-tugas sosialnya[35]
di tengah masyarakat Sasak.
Demikian juga dengan cara
penyampaian dakwahnya, mereka sama sekali berbeda sebagaimana cara-cara yang
dilakukan oleh para da’i (tuan guru) pada umumnya. Bila tuan guru menggunakan
cara-cara bijaksana dalam ngamarin[36]
masyarakatnya, maka para penganut wahabi acapkali mengedepankan cara-cara
konfrontatif[37]
dan demonstratif[38]
dalam memengaruhi, yang bagi bagi masyarakat Sasak cenderung menimbulkan
empati. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian terjadi konflik yang berujung
tindak kekerasan fisik terhadap penganut wahabi ini berupa pengerusakan dan
pengusiran, seperti yang terjadi di Sesele Lombok Barat[39],
Sekotong Lombok Barat,[40] dan di Gelogor Kediri Lombok Barat.[41]
Cara-cara ini (konfrontatif
dan demonstrative, red) sebagaimana dikatakan salah seorang penganjur dalam
ceramahnya, merupakan cara yang paling tepat dalam memahamkan ajaran Islam yang
sesungguhnya kepada masyarakat Sasak.
… cara tersebut adalah cara yang
mempunyai tuntunan dalam Islam sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw pada
masyarakat Madinah, …karena masyarakat kita (Lombok) adalah masyarakat Islam
yang sudah mengerti dan memahami Islam, dan juga mengetahui bahwa Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi adalah pedoman utama Islam. Al-Qur’an adalah pondasi utama yang
sudah mencakup segalanya, dan Rasulullah Saw adalah penerjemah dari pondasi
itu, sehingga beliau menjadi panutan yang harus diikuti karena ia contoh
teladan yang sebenar-benarnya dari Islam. Jika kita mau berislam yang kaffah
(menyeluruh) maka segala tindak tanduk kita harus berdasarkan perilaku yang
dicontohkannya seperti tertera dalam hadis-hadis yang bisa dipertanggungjwabkan
keilmiahannya.
Oleh karena itu kita tidak boleh
setengah-setengah menjalankan sunnahnya, karena Allah SWT menjanjikan pahala
seratus kali lipat bagi orang yang mampu menjalankannya, bahkan siap dengan
segala resikonya, karena Rasulullah Saw menyatakan, akan datang suatu masa
dimana orang yang memegang sunnahku seperti memegang bara api…[42]
Demikian
juga halnya, menjalankan sunnah Nabi apa adanya, dipandangnya sebagai jihad
yang akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT, dan mengecam mereka
menzaliminya. Menurutnya apa yang dilakukan oleh para ‘aktifis’ wahabi adalah
benar menurut pandangan Islam. Dan di sisi lain ia juga menyayangkan sikap
mereka yang secara langsung mengecam masyarakat dengan praktik keagamaannya.[43]
Namun demikian tidak
seluruhnya para penganut wahabi yang berpandangan dan berprilaku seperti
tersebut di atas, ada juga di antara mereka yang berprilaku seperti masyarakat
Sasak pada umumnya, ustad-ustad[44]
yang pernah mengajar di Pondok Pesantren Al-Aziziyah misalnya, mereka tidak
seekstrem seperti penganut wahabi lainnya. Mereka tetap bergaul, ramah,
menjawab salam, dan mau duduk bersama dengan orang-orang “diluar” mereka,
bahkan lebih jauh lagi mereka bersedia berdiskusi tentang masalah-masalah atau
ajaran-ajaran yang erat kaitannya dengan paham wahabi, dan tak segan-segan
memenuhi undangan pada acara-acara besar Islam yang dipandang oleh kalangan
wahabi sendiri sebagi bid’ah.[45]
Sikap konfrontatif dan
demonstratif yang banyak dilakukan oleh penganut-penganut wahabi pada
tempat-tempat lain tidak terlihat pada mereka. Dalam banyak hal yang
bersentuhan langsung dengan kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan mu’amalah,
atau hal-hal yang bersifat furu’iyyah maupun sifatnya ijtihadi,
cenderung dilakukan dengan cara-cara kompromi. Artinya masyarakat diberikan dan
diarahkan untuk memilih pilihan terbaik menurut agama berdasarkan dalil-dalil
yang nyata, dan tidak dilarang secara langsung (terang-terangan) terhadap
perbuatan bid’ah yang mereka lakukan.[46]
Mempertahankan cara-cara
damai dalam memahamkan ajaran wahabi di tengah masyarakatnya. Baginya,
membangun kepercayaan di tengah masyarakat dengan memberikan contoh yang
terbaik seperti yang dicontohkan Nabi pada masa-masa awal Islam di Mekah,
adalah yang paling penting. Kepercayaan merupakan modal utama untuk
mentransformasikan Islam yang benar berdasarkan Quran dan Sunnah serta
mencontoh perilaku para salaf al-shalih yang fleksibel dalam menjalankan
tradisi Nabi. Setelah kepercayaan itu terbangun maka dengan sendirinya
masyarakat akan menilai, memedomani dan mengikuti langkah-langkah (perilaku)
Nabi yang dicontohkannya.[47]
Langkah ini ia lakukan
mengingat (belajar) dari kasus-kasus yang banyak terjadi di daerahnya (Lombok
Timur). Banyak penganut wahabi yang mendemonstrasikan paham mereka secara rigid
(kaku) dan cenderung konfrontatif atau menuding langsung terhadap ritual-ritual
yang dilakukan masyarakat itu sebagai sesuatu yang tidak ada landasan dalam
Islam (bid’ah), yang sebenarnya bisa disiasati dengan cara-cara hikmah,
mau’idhah hasanah dan dengan cara-cara yang ma’ruf, seperti tidak
menghina, melecehkan, atau menghakimi masyarakat dengan praktik keagamaan
mereka, mencarikan alternatif-alternatif yang lebih baik dan lebih mendekati
kepada praktik salaf al-shalih, dan seterusnya.
Sejalan dengan apa yang
dilakukan oleh seorang alumni LIPIA di NTB—sekarang beliau menjadi pimpinan
salah satu pondok yang cukup di NTB, melalui pondok pesantren yang dipimpinnya
ia berupaya mengakomodir pemahaman agama yang telah populer di tengah
masyarakat, di luar masalah-masalah pokok (akidah). Adapun Persoalan-persoalan
fiqih yang sifatnya ijtihadiy ia tidak saklet, bahkan ia mengakui
mengikuti mazhab syafi’iyyah sebagai mazhab mayoritas masyarakat Sasak, karena
baginya menyampaikan dakwah haruslah dengan menggunakan ‘bahasa’ objek dakwah,
oleh karena itu seorang da’i harus fleksibel, bisa masuk kemana-kemana dan bisa
‘meresap’ ke semua kalangan. Bentuk fleksibelitas tersebut ia terapkan tidak hanya
dalam koridor dakwah, tapi ia terapkan juga dalam kurikulum pesantren.
Penutup
Beranjak dari paparan di atas
terlihat adanya konfigurasi penganut wahabi dalam bersikap maupun dalam
menyampaikan misi dakwah mereka. Disatu pihak ada yang bersikap ekstrem namun
dipihak lain ada juga yang bersikap lunak dan mengikuti arus pemahaman dan
praktik agama yang ada di masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena
tingkat pemahaman mereka yang berbeda mengenai cara mengejawantah sumber-sumber
pokok maupun akses mereka terhadap ajaran wahabi ini, sehingga bagi mereka yang
kurang berpengetahuan akan cenderung intoleran, konfrontatif, rigid, dan keras
dalam menyikapi praktik keagamaan di tengah masyarakatnya (Sasak), hingga
mengundang berbagai respon tuan guru atas mereka.
[1]
Munculnya revivalisme Islam di Indonesia memberikan kepada pemerintah apa yang
mereka anggap sebagai ancaman, baik bagi negara maupun bagi kekuasaan politik
mereka sendiri. Pada tingkat pertama, mereka takut bahwa gerakan gerakan itu
akan memperburuk ketegangan-ketegangan komunal dalam masyarakat majemuk, dan
pemerintah memberikan reaksi tegas terhadap persekongkolan-persekongkolan yang
diduga aktual untuk menumbangkan negara atas nama Islam. Lihat Fred Robert van
der Nehden, Islam dan Negara di Indonesia dan Malaysia, dalam Harun
Nasution dan Azyumardi Azra (ed), Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 135
[2] Khaled
Abou El-Fadl, And God Know The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in
Islamic Discourse (2001). Catatan Akhir Bab 1 Nomor 5, h. 197
[3] Karena
orientasi dasarnya yang telah berubah tersebut, maka dalam beberapa segi
Wahabisme banyak disoroti sebagaimana Khaled Abou El-Fadl misalnya, menurutnya
para penganut dan penganjur Wahabisme berupaya melakukan peneguhan kembali akan
semangat pembebasan umat Islam, namun cara dan praktik mereka yang meruntuhkan
dan membabat habis praktik-praktik tasawuf menjadi bertolak belakang dengan
cita-cita sosial agama yang emansipatif, humanis dan berkeadilan. Sejumlah
ajaran yang sudah terlanjur mengendap dan menubuh kuat dalam kesadaran sebagian
besar umat Islam itu mereka tampik hanya karena ketiadaan harfiah teks yang
membackupnya. Menurutnya, dari pelbagai segi wahabisme adalah bentuk akhir dari
konsumerisme yang ditopang agama. Lihat Khaled Abou El-Fadl, And God Know The Soldier.. ibid, h.193.
Arab Saudi dan Kuwait—yang dalam
perspektif ekonomi-politik, kedua negara ini cenderung (sangat akrab) kepada
kapitalisme.[3] Pada dasawarsa 50-an,
pakar perpajakan Amerika dilibatkan dalam penyusunan ketetapan pajak
pengahasilan. Sintesa antara ajaran zakat dan fiskal Amerika tak terelakkan.
Hal ini terus terjadi, karena Arab Saudi semakin aktif melakukan bisnis dengan
Amerika. Lebih lanjut lihat J.N.D.
Anderson, Islamic Law in The Modern World (Westport, Connecticut:
Greenwood Press, 1997)
[4]
Imdadun Rahmat, Arus Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah
Ke Indonesia .
(Jakarta :
Airlangga, 2005) cet ke-1 h. 68
[5] Lain
halnya dengan gerakan Salafi yang dimotori oleh Al-Afghani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha pada awal abad ke-20, dimensi kesalafiyahan mereka cenderung lebih
luas dibandingkan para pendulumnya seperti Abdul Wahab maupun Ibnu Taimiyah.
Kesalafiyahan ala Muhammad Abduh, Rasyid Ridha terdiri tiga komponen. Pertama,
keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud
jika umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani
pola hidup para sahabat Nabi, khususnya al-Khulafa al-Rasyidun. Komponen ini
sama dengan salafiyah sebelumnya. Kedua, perlawanan terhadap kolonialisme dan
dominasi Barat, baik politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Ketiga, pengakuan
terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan teknologi, oleh karenanya umat
Islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut, kemudian secara
selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan
kembali umat Islam.[5] Singkatnya mereka
cenderung merespon perubahan konteks dengan menafsir ulang pilar-pilar islam
(Quran dan hadis) dalam merespon modernitas, sehingga pemikiran mereka terbuka
terhadap pemikiran dan gagasan-gagasan lain, bahkan bagi Rahmat (2005) para
motor Salafi awal abad ke-20 tersebut diyakininya sebagai penganut teologi yang
berorientasi liberal. Imdadun Rahmat, Arus Islam Radikal… Ibid
[6]
Robert Lacey, The Kingdom Arabia dan The House of Saud, (terj) Kerajaan
Petrodolar Saudi Arabia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 103
[7] Pengkonsolidasian ini dibentuk dengan pembentukan
kelompok-kelompok persaudaraan (ikhwan) yang dimultifungsikan antara
lain sebagai berikut. Pertama, sebagai pusat asimilasi atau pembauran
antar suku yang diikat oleh satu keimanan dan keyakinan. Kedua sebagai
pusat dakwah untuk gerakan wahabi dan sebagai komando jihad—sehingga dikemudian
hari kelompok persaudaraan ini melahirkan organisasi al-Ikhwan dengan
tentaranya yang terkenal kuat. Ketiga, sebagai penghasil devisa negara
melalui kegiatan pertanian dengan dibangunnya pemukiman-pemukiman baru. Lihat
James P. Piscatori, Perkembangan Ideologis di Arab Saudi dalam Harun
Nasution, Azyumardi Azra (Peny.), Perkembangan Modern Islam, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia: 1985), h. 196
[8] Aktivitas wahabi sejak awal kebangkitannya merupakan
aktivitas yang berusaha menjalankan Islam secara “murni”, rigid, dan literalis.
Ajaran ini merupakan antitesa dari cara beragama tasauf populer waktu itu. Oleh
Abd al-Wahab, pemujaan lain selain kepada Allah adalah syirik dan pemujaan
terhadap orang-orang suci (wali) adalah mirip dengan politeisme. Ibid.
Dari uraian
ini dapat dikatakan bahwa awalnya dukungan terhadap aktifitas Wahabi ini
didasari oleh kepentingan politis untuk menyatukan suku-suku yang bertebaran
dan hidup secara nomad di wilayah Hijaz. Abdul ‘Aziz ibn Su’ud berkepentingan
mempertahankan wilayah-wilayah yang telah dikuasainya dari ekspansi Inggris
maupun dari Turki Usmani.
[9] Pertama,
menurut teori sosiologi, tidak ada inovasi yang langsung diterima oleh
masyarakat. Setiap pembaruan harus melalui beberapa proses untuk diterima
menjadi bagian integral dari masyarakat. Dan kadang kala proses itu membutuhkan
waktu yang sangat lama.
Kedua, dilihat dari
perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan ulama Hijaz pada abad ke-18 yang
semakin kuat ke arah ortodoksi dan semakin kritis terhadap tasauf populer,
penerimaan sebagian ulama terhadap ajaran gerakan wahahabi dapat dipahami. Akan
tetapi di akhir abad 18 itu pula terdapat kecenderungan yang cukup kuat akan
munculnya ekslusifisme di kalangan tarekat populer tertentu. Dengan demikian
ulama yang mendukung golongan yang berorientasi kepada tarekat populer ini
tentu saja tidak dapat menerima ajaran Wahabi, karena ajaran Wahabi ini sangat
kuat mengutuk ajaran dan praktik-praktik tasauf populer itu. Di samping itu,
ulama yang kritis terhadap tasauf populer itu sendiri sendiri tidak selamanya
radikal dan menunjukkan antipati terhadap ajaran tasaufnya sendiri. Dari
kenyataan sejarah ini, kita tentu dapat menyatakan bahwa tidak seluruh ulama
Hijaz dapat menerima ajaran wahabi itu. Kalaupun mereka tetap berada di mekah
dan terlibat dalam dialog dengan ulamaWahabi tersebut di atas, kita mungkin
tidak terlalau meleset untuk menyatakan bahwa mereka menerimanya karena merasa
mendapat tekanan politik dari penguasa baru itu. Kemungkinan lainnya adalah
bahwa mereka tidak dapat menerima ajaran wahabi tersebut, dan mereka kemudian
mengungsi ke kota-kota Islam lainnya di luar Hijaz.
Ketiga, menjelang Dinasti
Saudi berhasil menganeksasi Hijaz pada tahun 1803 M, yaitu ketika peperangan
antara syarif Galib dengan Nejd sedang berkobar, banyak penduduk yang
meninggalkan kota Mekah untuk mengungsi. Namun demikian, kita sulit untuk
membantah bahwa pengungsian penduduk Hijaz itu adalah juga disebabkan oleh
penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran Wahabi yang secara politik dipaksakan
oleh penguasa Saudi. Lihat Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci;
Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
177-179
[10]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, (Jakarta :
Prenada, 2004), h. 51
[11] Ibid,
h. 52
[12] Ibid
[13]
Dan di Saudi sendiri pasca dibukanya kerjasama tersebut,
universitas-universitas yang tersebar di Arab Saudi seperti Imam Muhammad ibn
Sa’ud Islamic University, King Saud University keduanya di Riyadh, Ummul Qura
University di Mekah, Islamic University of Madina di Madinah, dan Syari’ah
Faculty di Propinsi Al-Qasim, membuka ruang seluas-luasnya kepada orang-orang
Indonesia yang ingin belajar di negara ini, dengan memberikan beasiswa penuh
selama menempuh pendidikan dan biaya akomodasi.
[14] Akomodasi Islam oleh Orde Baru dimulai setelah fase
penerimaan azas tunggal (pancasila) tahun 1985 oleh organisasi masyarakat
maupun organisasi politik dianggap selesai . Akomodasi ini dimulai dengan
didirikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 7 Desember 1990.
Walaupun pendirian organisasi ini bukan atas prakarsa Soeharto tetapi dengan
dipilihnya BJ. Habibi sebagai orang dekatnya menunjukkan keterkaitan dan upaya
akomodasi Islam dimulai. Hal ini dilakukan Soeharto mengingat dukungan tentara
yang mulai melemah, dan demi menjinakkan Islam “modernis”. Politik akomodatif
ini menurut Bachtiar Efendi (1998) setidaknya ada empat poin yang ia sebutkan
sebagai bukti-bukti akomodasi tersebut, pertama akomodasi struktural;
yakni terakomodasinya tokoh-tokoh muslim yang masuk pada lembaga-lembaga
eksekutif (birokrasi) dan lembaga legislatif negara sebagai contoh sejumlah
menteri Muslim sekitar 88% (jumlah yang dianggap proporsional dengan jumlah
umat Islam Indonesia) dipilih pada periode 1993-1998 (Adam Schward, 1994). Kedua
akomodasi legislatif; yakni akomodasi peraturan pemerintah yang berhubungan
dengan kebijakan seperti disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN)
tahun 1989, diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 dan
Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, diubahnya keputusan pelarangan jilbab pada
tahun 1991, dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan
Badan Amil Zakat dan Shadaqah (Bazis), dan dihapuskannya Sumbangan Dermawan
Sosial Berhadiah (SDSB) tahun 1993. Ketiga
akomodasi infrastruktural; yakni penyediaan infrastruktur yang diperlukan oleh
umat Islam dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Salah satu bentuk yang
paling fenomenal adalah kesediaan negara untuk tidak sekedar mengizinkan melainkan
juga membantu pendirian Bank Islam, yaitu Bank Muamalat Islam (BMI). Dan keempat
akomodasi kultural. Yakni terakomodasinya budaya Islam dalam acara-acara resmi
kenegaraan, atau yang lebih simbolis seperti diadakannya Festival Istiqlal.
Anas Saidi (ed), Menekuk Agama Membangun Tahta; Kebijakan Agama Orde Baru,
(Depok: Desantara, 2004), h. 104-108
[15] Lihat R.
William Lidlle, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi
Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed), Jalan
Baru islam; Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia , (Bandung: Mizan,
1999), cet ke-1, h. 304
[16] R.
William Lidlle, “Skripturalisme Media Dakwah … ibid
[17] Imdadun
Rahmat, Op Cit, h. 116
[18] At-Turats (Yayasan Majelis At-Turats Al-Islami) berada
di Yogyakarta merupakan cabang Asia Tenggara yang berkedudukan di Jakarta . Yayasan ini telah
memiliki beberapa sekolah dan sedang mempersiapkan yang lainnya. Secara resmi
hanya lima lembaga yang dimilikinya, selain itu
yayasan ini memiliki jaringan informal yang lebih luas dengan sekolah-sekolah
yang juga menerima bantuan dari Kuwait .
Imdadun Rahmat, Op Cit, h. 125
[19] Keterkaitan
antara pembukaan LIPIA dengan upaya transmisi wahabisme ini seperti yang
ditulis Rahmat (2005) bahwa upaya membuka cabang di Indonesia ini diawali
dengan datangnya Syekh Abdul 'Aziz Abdullah Al-Ammar, seorang murid tokoh
paling penting salafi di seluruh dunia Syekh Abdullah bin Baz ke Jakarta. Ia
diutus untuk bertemu dengan Muhammad Natsir di Jakarta. Dalam pertemuan itu
Muhammad Natsir bersedia menjadi mediator dengan pemerintah Indonesia.
Selanjutnya, Natsir dan DDII memegang peran penting dalam rekrutmen
mahasiswa-mahasiswa baru. Maka sejak awal berdirinya lembaga ini, sebagaian
besar mahasiswa di LIPIA berasal dari lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki
jaringan dengan DDII, misalnya; Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Imdadun Rahmat, Ibid,
h.100
[20]
Cabang ini awalnya bernama LPBA (Lembaga Pengajaran Bahasa Arab), dan
dikemudian hari berganti nama menjadi LIPIA (Lembaga Ilmu Islam dan Sastra
Arab) setelah dibukanya fakultas Syari’ah dan program diploma. Lembaga ini
membuka ruang seluas-luasnya bagi mereka yang ingin mengenal dan mendalami
pemikiran-pemikiran ulama salafi. Lembaga ini merupakan cabang ketiga setelah Djibouti dan Mauritania . Imdadun Rahmat, Op
cit, h.99
[21]
Imdadun Rahmat, Ibid. Namun demikian pengaruh wahabisme dalam bentuk
gerakan revolusioner radikal yakni gerakan pemurnian yang dilakukan secara
konfrontatif, telah ada ketika terjadinya peralihan inspirasi pembaruan oleh
para pendukung terkemuka kaum Padri—terutama Tuanku Nan Renceh, dari cara-cara
evolusioner dengan pembaruan tarekat Sathariyyah, Naqsabandiyah, dan Qadiriyah,
kemudian berubah melalui cara-cara radikal-frontal.[21] Dalam
hal ini Azra mengemukakan: “Setelah gagal membujuk Tuanku Nan Tuo untuk
mengubah pendekatannya secara evolusioner dan damai terhadap pembaruan Islam,
Tuanku Nan Renceh mendapatkan para pendukung kuat dalam diri tiga haji yang
kembali dari Makkah pada 1218/1803: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piobang. Perjalanan ibadah haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekah oleh
kaum Wahabi. Karena itu cukup beralasan jika mereka dianggap dipengaruhi
ajaran-ajaran Wahabi, seperti penentangan terhadap bid’ah penggunaan tembakau,
pemakaian baju sutera, yang mereka usahakan pula untuk menyebarkannya secara
paksa di wilayah Miangkabau.” Azyumardi Azra, Op cit, h. 371
[22]
Kuliah umum ini diadakan seminggu sekali yang kerapkali dihadiri oleh
tokoh-tokoh wahabi Saudi, dan terkadang juga melibatkan tokoh nasional yang
nota bene alumni Timur Tengah khususnyua Univesitas Islam Madinah seperti
Hidayat Nurwahid, Salim Segaf Al-Jufri, dan lain-lain.
[23]
Hal ini pernah terjadi pada Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid (w. 1997)—pendiri
pondok pesantren Al-Mujahidin sebagai cikal bakal pondok pesantren Nahdlatul
Wathan dan organisasi masyarakat Nahdlatul Wathan—pesantren yang dipimpinnya
dituding oleh sebagaian masyarakat sebagai pusat pengembangan aliran Wahabi.
Tudingan atas penyebaran paham keagamaan
yang tidak sesuai dengan ajaran para tuan guru pada waktu itu, karena pembaruan
sistem pendidikan dari sistem halaqah menjadi sistem semi klasikal. Sistem
klasikal secara umum dilihat dari metode belajar mengajar yakni cara mengajar
berdiri, iuran bulanan siswa, memakai buku-buku yang ada gambar hewan, dan
khususnya mengajak santri menerjemahkan al-Quran, adalah contoh-contoh yang
dipergunakan sebagai bahan untuk memberikan penilaian negatif.
Hal serupa pernah pula dituduhkan
kepada Tuan Guru Musthafa Umar Gunungsari Lombok Barat, pada tahun 1982 setelah
kepulangannya dari Mekah. Ia mendirikan Pondok Pesantren Al-Aziziyah di
kampungnya, berselang lima tahun kemudian
pesantren ini mengalami kemajuan yang pesat dengan mendirikan sekolah formal
dan mampu membangun kelas dan asrama hingga lima lantai. Karena kemajuannya yang
demikian, pesantren ini dituduh sebagai pesantren wahabi yang dikait-kaitkan
dengan kepulangan tuan gurunya dari Mekah dan dalam waktu singkat mampu
membangun pesantren yang demikian besar. Wawancara dengan Tuan Guru Musthafa,
(Gunungsari Lombok Barat,15 Maret 2007)
[24]
Lihat misalnya Jamaluddin, Islam Sasak; Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok
(Abad XVI-XIX), (Jakarta :
Pps UIN Syarif Hidayatullah, 2004) Tesis, tidak diterbitkan. h. 299. Menurutnya
peluang masyarakat lombok mengenal dunia luar lebih besar dengan banyaknya
kapal-kapal yang singgah di kota-kota bandar di Lombok seperti Ampenan di
wilayah barat Labuhanhaji di di timur, dan di antara kapal-kapal tersebut ada
yang menuju Timur tengah selain India.
[25]
Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial; Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan
Liberalisme (Bandung :
Mizan, 2005), h.
[26]
Agaknya inilah yang menyebabkan tudingan wahabi terhadap Tuan Guru Musthafa
Umar (terjadi sekitar tahun 1982) tidak begitu santer dan memengaruhi
masyarakat luas.
[27]
Sebagaimana yang dikatakan salah seorang koordinator dakwah Wahabi wilayah NTB
bahwa, para penganut wahabi merasakan bebas dalam berdakwah pada era reformasi
ini. Sebelumnya mereka selalu was-was takut diciduk karena dianggap sebagai gerakan
Islam anti pemerintah.
[28]
Karena ciri khas secara fisik ini pula yang menyebabkan munculnya istilah dan
sebutan khas yang ditujukan kepada kelompok ini seperti, da’i kompor, dengan
baok (orang berjenggot), sulapi (dari kata “salaf” yang
diplesetkan), dan sebagainya.
[29]
Wawancara Tuan Guru Musthafa Umar, Op Cit. Untuk memperkuat argumen
tersebut, Tuan Guru Musthafa kemudian memperdengarkan rekaman pengajian wahabi
yang antara lain menyatakan; “ape jaq perlunde gen pade turut loq Syafi’i,
loq Hanafi, loq Hambali, ndeq te pade perlu turut ye pade, sengaq selapuq ape
saq gen te pade gaweq ibadah wah araq doang care-carene, ntan tegaweq, kance
keteranganne leq hadis saheh…” (Apa sih perlunya kita mengikuti
Syafi’i, Hambali, Hanafi, tidak perlu kita mengikuti mereka, karena semua
ibadah yang akan kita lakukan sudah ada semua cara-caranya, (baik) cara
mengerjakannya, (maupun) keterangannya dalam hadis sahih).
[30]
Muhammad bin Muhammad bin Abdussalam Khudhar Assalafi, Al-Minhah
Al-Muhammadiyah fi bayani al-‘Aqaid As-Salafiyah, (terj) Pemurnian
Syariat Menurut Salaf, Fauzi Saleh Lamno, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2003), Cet ke-1, h.
15-21
[31]
Masuknya Islam di Gumi Sasak (lombok) diperkirakan telah mulai sejak abad ke-15
seiring dengan kedatangan para pedagang muslim yang bermukim dan berniaga di
Lombok. Beberapa tahun kemudian penyebaran Islam secara intensif dilakukan oleh
Sunan Prapen dari Giri (Jawa), sekitar tahun 1505-1545 M. (abad ke-16).
Pengislaman pertama kali dilakukan kepada penduduk Salut (Lombok Barat bagian
utara) dan sekitarnya, kemudian Sunan Prapen melanjutkan perjalanannya ke
Labuhan Lombok desa Menanga Baris yang merupakan ibu kota kerjaan Mumbul, pada
masa pemerintahan raja Rangkesari. Setelah raja Lombok dan rakyatnya
terislamkan Sunan Prapen melanjutkan misi dakwahnya ke daerah sekitar, yang
merupakan kedatuan-kedatuan (raja kecil) yang berada di bawah kerajaan Lombok.,
seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Suradadi, Sokong, Bayan, dan kedatuan Sasak.
Jamaluddin, Op Cit, h. 309
[32] Boda
merupakan kepercayaan asli masyarakat Sasak. Orang Sasak yang menganut
kepercayaan ini disebut sasak-boda. Kendati nama kepercayaan ini (Boda)
mirip dengan Budha, namun kepercayaan ini tidaklah sama karena Sasak-Boda. Mereka
tidak mengakui Sidharta Gautama atau Sang Budha sebagai figur utama pemujaannya
maupun terhadap ajaran pencerahannya. Fokus utama dari praktik keagamaan Sasak-Boda
terutama ditandai oleh animisme dan panteisme, serta pemujaan dan penyembahan
roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan. Erni Budiwanti, Islam
Sasak; Wetu Telu versus Waktu Lima, (Yogyakarta :
LKIS, 2000), h.8
[33]
Tidak menjawab salam orang yang dianggap ahlul bid’ah merupakan sikap yang
biasa ditemui pada komunitas-komunitas wahabi, khususnya di Lombok .
[34]
Agaknya ini merupakan pengaruh adagium “lebih baik duduk bersama anjing
daripada dengan ahlul bid’ah”. Wawancara dengan Ustad Azmil Umur, Op Cit
[35]
Tugas sosial yang dimaksud di sini adalah tugas perempuan dalam tradisi sasak
yang berpartisipasi dalam mensukseskan acara pada hari-hari besar Islam atau
hari-hari besar lainnya seperti acara perkawinan, sunatan dan lain sebagainya,
yang menyiapkan dan memasak makanan bersama. Atau tugas lainnya seperti
mengantarkan beras kepada keluarga yang meninggal—disebut belangar.
[36]
Berdakwah. Seorang tuan guru bukan dikunjungi melainkan mengunjungi masyarakat
yang akan diajarkan pengetahuan agama.
[37] Pengerusakan dan pengusiran oleh ratusan warga
terhadap seluruh komponen Pondok Pesantren Ihiya' Ussunnah ini terjadi pada 4
April 2006. Lima
bangunan pondok hampir rata dengan tanah. Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Nusa Tenggara Barat meminta penganut wahabi mengubah cara berdakwah
mereka. Menurut Sekretaris MUI, Tuan Guru Mahally Fikri, penyebaran ajaran itu
tak dikemas sesuai dengan kultur agama yang dianut warga, sehingga warga
menjadi tersinggung dan terjadi tindak anarkis.” Tempo Interaktif, 07 April 2006 | 07:17 WIB.
[38]
Salah satu contoh dalam hal ini seperti yang penulis alami pada acara pemakaman
di Narmada Lombok Barat (11/07/2006). Ada
beberapa orang penganut wahabi (yang bisa dikenali secara langsung dengan ciri
khasnya) yang menghadiri acara pemakaman tersebut. Ketika jenazah telah selesai
diuruk mereka berdoa sendiri dan langsung meninggalkan acara tanpa mengikuti
acara yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini menimbulkan
kegeraman dan dilihat sebagai tindakan kasoan (kurang ajar, tidak
menghormati) terhadap keluarga yang meninggal.
[39]
Pengerusakan dengan pembakaran ini terjadi pada bulan November 2005, ribuan warga
Desa Sesela menyerbu Pondok Pesantren Ubay bin Kaab di Dusun Kebon Lauk yang
dipimpin oleh Ustad Fathul ‘Aziz, dikarenakan tak membacakan talqin
dalam prosesi penguburan jenazah dan doa qunut ketika salat Subuh. Tempo
Interaktif, Op Cit
[40]
Tempo Interaktif, Ibid
[41]
Pemukulan dan pengusiran oleh masyarakat Gelogor terhadap beberapa orang
penganut wahabi yang dikomandoi oleh H. Madiun. Sebagaimana diceritakan oleh
Sanahar, Keliang (Kepala kampung) Gelogor Oktober 2006.
[42] Ustad
Fathul ‘Aziz, Ceramah di Masjid Gomong Mataram, 20 Juni 2006
[43] Ustad
Fathul ‘Aziz… ibid
[44]
Ustad-ustad ini antara lain; (1) Ustad Burjan Efendi, dulunya adalah pembantu mustami’
(pembimbing tahfidz) di Lembaga Tahfidz Pondok Pesantren Al-Aziziyah
Gunungsari Lombok Barat dan salah satu staf pengajar pada Lembaga Diniyah di
pondok pesantren yang sama, sekarang menetap di Solo, (2) Ustad Nurman, dulunya
adalah mustami’ (pembimbing tahfidz) di Lembaga Tahfidz Pondok Pesantren
Al-Aziziyah Gunungsari Lombok Barat dan salah satu staf pengajar pada Lembaga
Diniyah di pondok pesantren yang sama, sekarang menetap di Bogor, (3) Ustad
Yoyok Wardoyo staf pengajar di Madrasah Aliyah sekarang menetap di Mataram.
Mereka keluar atau dikeluarkan karena sebagai penganut wahabi yang oleh
pimpinan pondok pesantren (Tuan Guru Musthafa Umar) melarang paham ini di
lingkungan pesantren. Alasan pelarangan ini antara lain; pertama pesantren
tidak mau dikenal di luar sebagai penganut wahabi—hal ini akibat trauma
masa-masa awal pendirian pesantren (lihat catatan kaki no.36), kedua
banyak para wali murid menarik anak-anaknya dari pesantren karena alasan di
rumah anaknya berprilaku “aneh”—tidak qunut subuh—menurut mereka.
[45]
Alasan mereka dalam hal ini adalah hadis Nabi yang mewajibkan seorang muslim
memenuhi undangan saudaranya. Wawancara dengan Ustad Burjan Efendi, 9 Februari
2007
[46]
Akan tetapi dalam hal-hal yang bersifat akidah tetap tidak ada kompromi. Namun
demikian secara perlahan masyarakat bisa dialihkan untuk tidak melakukan
hal-hal yang mendekatati kesyirikan, antara lain dengan cara menyibukkan
masyarakat dengan hal-hal yang penting seperti peningkatan ekonomi, dan
berupaya mengalihkan wacana mereka dengan tidak membicarakan hal-hal yang
mendekati kesyirikan tersebut seperti ziarah kubur, azimat, kelebihan atau karamah
wali dan lain sebagainya.
[47]
Sejalan seperti yang dikatakan Endang Turmudi (2003) tentang kekiaian di Madura
dan Sunda yang berbeda dengan di Jawa, maka ketuanguruan di Lombok
juga bersifat terbuka, artinya ketuanguruan lebih berorientasi prestasi dan
tidak dibentuk secara genealogis seperti di Jawa. Sepanjang seseorang mempunyai
pengetahuan keislaman yang luas dan mampu mengimplementasikannya dengan baik,
maka anggota masyarakat dengan mudah menggugu dan menirunya dan mengakuinya
sebagi tuan guru. Dengan kata lain, ketika kepercayaan masyarakat telah
terbangun maka akan dengan mudah mengarahkan mereka melakukan seperti yang
dikehendaki tuan guru yang kadang tanpa reserve. Lihat Endang Turmudi, Struggling
for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East java. (terj.)
Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta :
LKIS, 2004), Cet ke-1, Bandingkan dengan Badrun A.M, Tuan Guru dan
Istikaharah politik dalam Membongkar Misteri Politik NTB. (Yogyakarta : Genta Press, 2006), Cet ke-1