Minggu, 12 Februari 2012

Belajar Sosiologi, Siapa Takut!


Umumnya siswa enggan merespon ketika kata sosiologi melintas. Mungkin saja hal tersebut didasari oleh pelbagai faktor yang melingkupi disekitar "sosiologi". Atau adanya hal paling mendasar disebabkan oleh pemunculan atau proses pemunculan persepsi yang kurang tepat ketika mengawali pembelajaran sosiologi. Tersebab itu, guru dituntut selalu cerdas dalam memberikan kesan-kesan maupun contoh konkrit, sehingga tanpa tersadari murid dapat dengan leluasa menelaah dan menjadikan fakta keseharian mereka tersedot ke dalam ranah-ranah pematerian sosiologi.
Untuk itu memahamkan sosiologi haruslah menanamkan sasaran dasarnya, pertama merangsang siswa memahami sendiri pengetahuan dasar sosiologi agar mereka mampu memahami dan menelaah komponen-komponen individu, kebudayaan, dan masyarakat secara rasional yang disebut dengan sasaran kognitif, dan yang kedua adalah mengembangkan keterampilan sikap dan perilaku siswa secara rasional untuk menghadapi kemajemukan masyarakat, kebudayaan, situasi sosial, dan berbagai masalah sosial lainnya, hal ini disebut sebagai sasaran praktis.
Adapun tujuan lain pembelajaran sosiologi yakni untuk menumbuh-kembangkankan sikap, kesadaran, dan kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat, secara individual maupun secara struktural melalui lembaga-lemabaga sosial yang ada di tengah masyarakat. Dan capaian akhirnya berupa terciptanya integrasi sosial yang berkelindan dalam bangunan moral dan fisik.
Pembahasan sosiologi meliputi empat aspek, yaitu struktur sosial, proses sosial, perubahan sosial, dan tipe-tipe lembaga sosial. Keempat aspek ini dijabarkan kedalam suatu standar kompetensi dan kompetensi dasar, mulai dari kelas 1, 2, hingga kelas 3. Yaitu dengan tahapan-tahapan kurikulum sebagaimana berikut.

1. Memahami perilaku keteraturan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat .
2. Menerapkan nilai dan norma dalam proses pengembangan  kepribadian.
3. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial  
4. Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikultural 
5. Memahami dampak perubahan  sosial  
6. Memahami lembaga sosial 
7. Mempraktikkan metode penelitian sosial 

Berdasarkan indikator pencapaiannya, tentu saja sosiologi ini sangat penting dipahami dan dikuasai oleh setiap siswa yang nantinya akan menjadi bagian penting dalam sebuah struktur masyarakat. Namun, masih adakah yang merasa kesulitan untuk mempelajarinya? Jawabannya variatif dengan alasan-alasan tertentu. 

Terlepas dari sulit atau mudahnya belajar sosiologi, Kawan Pustaka menerbitkan Buku Saku Sosiologi SMA 1, 2, & 3 sebagai alternatif mudah dalam belajar sosiologi untuk siswa SMA. Buku ini dibuat dengan ukuran saku sehingga mudah dibawa dan dapat dibaca setiap saat. 

Buku yang disusun oleh Yulia Darmawaty, S.Pd. & Drs. H. Achmad Djamil ini berisi ringkasan materi dari setiap bab yang ada dalam pelajaran SMA. Ringkasannya dibuat simpel dan sesuai kurikulum yang berlaku. Sangat cocok dijadikan buku penunjang pelajaran bagi siswa-siswi SMA, terutama bagi yang akan menghadapi ujian, baik ujian akhir semester, ujian nasional, maupun ujian masuk perguruan tinggi
Share:

Minggu, 05 Februari 2012

Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Sebagai Tandingan

Kini sudah muncul tandingan terhadap ilmu-ilmu sosial Eropa atau Amerika, dari yang lokal seperti Linda Tuhiwai Smith yang menulis tentang metodologi dan ilmu-ilmu sosial-nya komunitas Maori-Aborigin di Selandia Baru. Demikian pula Walter Mignolo dari basis pengalaman Zapatista Amerika Latin dalam bukunya The Darker Side of Renaissance dan Global or Local. Dalam tradisi pesantren ilmu-imu sosial mereka tumbuh bersamaan dengan pengalaman mereka dengan kolonialisme, dengan segenap aktor-aktor dan pelakunya, dan kemudian dari sana melakukan sesuatu terhadapnya: mengamati, bersikap, memetakan, bertindak atasnya, dan merancang masa depan mereka.
Tradisi imu-ilmu sosial kaum pesantren dimulai dari persepsi tentang karakter umum dari penjajah dan kaki tangannya. Buku-buku kaum santri, mulai dari Syekh Ahmad Chatib Minangkabau, guru hadlratussyekh KH Hasyim Asy'ari, berjudul ad-Daw Siraj, hingga buku KH Saifuddin Zuhri, berangkat dari Pesantren, dibuat satu bab tentang "Memetakan wajah-wajah Kaki Tangan Penjajah". Di sana tidak akan Anda jumpai teori tentang kebudayaan besar berhadapan tradisi kecil, dikotomi kota-desa, soal butu huruf, soal rakyat miskin, atau mententangkan mentalitas konservatif dan tradional, primitif orang-orang desa, jaringan kaum pesantren. Sebagaimana halnya tradisi ilmu-ilmu sosial Marxian dimulai dari persepsi tentang musuh mereka, kapitalisme. Marx memulainya dari perpsektif Hegelian tentang tesis-antitesis dan sintesis. Pergumulan orang-orang pesantren dengan penjajahan, dimulai dari konsolidasi tesis-nya,yakni dari tardisi pesantren.
Tesis: Tradisi Pesantren sebagai Akar Ilmu-ilmu Sosial Pesantren
Tradisi pesantren adalah tradisi hubungan antara guru dan murid. Sang guru tidak hanya melatih keterampilan sang murid, tapi juga membentuk kepribadiannya. Karena praktik latihan dan proses berguru itu tidak dilakukan dengan cara duduk di dalam kelas dengan jadwal-jadwal pasti, maka pesantren juga merupakan sebuah komunitas, sebuah proses bermasyarakat, sebagai sebuah poses meneladani kehidupan (lihat tulisan Abdurrahman Wahid). Karena di sana latihan dan proses berguru berlangsung secara perlahan dalam bentuk magang atau nyantrik, menjadi asisten dan pembantu pribadi.
Kalau sebuah proses bermasyarakat dan menjalani hidup ini (sebagai inti dari pemahaman keagamaan kalangan pesantren, yang mengamalkan ajaran Ahlussunnah Waljamaah, Aswaja), hal itu berjalan dengan sendirinya, tanpa ada pengarahan dari sang guru. Guru tidak memberitahu apa yang harus dikerjakan, tapi dia menegur kalau ada kesalahan (sebagaimana halnya fungsi sang ideolog). Kaum pesantren, bagaikan musisi jazz mereka saling berinteraksi dan kemudian membentuk satu kesatuan dalam proses tanpa ada pengarahan dan rencana sebelumnya. Semuanya dilakukan secara bersama dalam proses. Dan terus berproses, sehingga praktik keagaman dan kebudayaan mereka tidak pernah berhenti. Tradisi dan praktik kebudayaan mereka – dalam lingkup tradisi pesantren – lahir setiap hari, setiap kali dipentaskan dan dipanggungkan, dihadirkan, diinvensi. Segalanya menjadi baru dan aktual, karena secara spiritual ada usaha untuk melakukan adaptasi, aktualisasi, interpretasi.
Dalam tradisi pesantren dikenal tiga unsur pokok basisnya yakni desa, kitab kuning dan masjid-pondok (dalam tradisi Bali ada desa, kala, dan patra; tempat, waktu, dan suasana; demikian pula di Jawa, empan, papan, dan winiraos), yang merupakan prinsip panutan hidup, dan sekaligus merupakan jiwa kebudayaannya. Bagaimana mungkin tanpa kehadiran sang kiai, sebagai figur utama, tanpa ada proses nyantri, setidaknya tanpa ada pimpinan yang mengarahkan proses beragama dan berkebudayaan, akan tercapai sebuah pendidikan karakter yang bagus dan ideal? Bagaimana tradisi digerakkan, diamalkan, bagaimana dimulai, diakhiri, siapa yang akan menjadi peran utama, apa ceritanya, bagaimana melakukannya, dan moral apa yang ditampilkan, dan seterusnya. Mungkin ia bisa disebut tradisional? [ya, kalau modern menjadi antitesisnya, menjadikan pendidikan hanya ibarat orang membuat dan mengkader robot] Tapi apa yang membuatnya bisa bertahan, kalau tidak karena mengenal seluk-beluk kehidupan, kondisi masyarakat, serta arah dan tantangan perjalanan peradaban. Bisa jadi melihatnya dengan cara lain, serta menjawab tantangan dengan cara lain pula.
Selain berargumentasi, melakukan diskusi, munaqasyah, ber-bahsul masail, dan seterusnya, juga melakukan meditasi dan bicara tanpa kata-kata. Mereka tidak semata-mata membuat tradisi tetap hidup, berkebudyaan dan mengamalkan agama, tapi juga bagaimana membuat hidup ini penuh keseimbangan, kosmologis. Tradisi pesantren, belajar di eps, nyantri dan berguru, adalah sebuah upacara bersama. Nyantri dan berguru berarti segala sesuatu yang bisa dinikmati dengan panca indera, lahir dan batin. Tidak ada batasan umur, asal-usul sosial, genealogi maupun bahasa. Nyantri bukan hanya proses belajar-mengajar, tapi ia sesuatu yang mengincar jiwa kaum santri. Dan sebuah tradisi nyantri hanya memerlukan jiwa yang aktif, yang lainnya pendukung. Pengembaraan spiritual itulah yang diperlukan seorang guru, kiai, yang menggelar pendidikan dalam sebuah tradisi dan komunitas.
Di tangan sang guru, pengembaraan itu tidak menjadi perintah-perintah yang pasti. Tapi semacam isyarat-isyarat yang memancing para santri dan masyarakat pendukungnya memasuki suatu suasana mencipta dari sesuatu yang tidak pernah jelas, sebelum benar-benar terjadi. Improvisasi [seperti halnya tajdid atau al-muhafazhah) merupakan institusi yang amat penting dalam tradisi pesantren, dan sekaligus merupakan temat untuk mengapliaksikan desa-kala-patra [yang dalam bahasa pesantren adalah al-muhafazhah], sehingga suasana pendidikan menjadi aktual.
Nyantri, dengan demikian, adalah sebuah suaha untuk hidup bersama tradisi, dan mengartikan tradisi bukan sebagai mumi yang mati tapi sesuatu yang hidup, tumbuh dan bagian dari masa kini. Maka, dalam konteks nyantri ini, sang guru hadir seperti halnya sang sutradara.
Di dalam sebuah kelompok yang akan menonton sesuatu sebagai sebuah pertunjukan, sutradara adalah seorang pencipta. Dia menciptakan dirinya lewat pemain dan segala sesuatu yang nampak dalam tontonan. Dan tontonan yang kemudian dinikmati oleh penonton sebagai sebuah pertunjukan adalah sebuah ciptaan dari berbagai pribadi pemain, namun pada akhirnya adalah suara jiwa langsung dari sang sutradara.
[seperti inilah kiai sebagai ideolog, yang menggerakkan tradisi, dan mentradisikan gerakan, dimana masing-masing menjalankan peranannya, tapi ruh dari lakonan itu adalah tetap berasal dari sang guru].
Di dalam praktik berguru atau nyantri, sang kiai membuat dan melatih seseorang menjadi “pemain”. Pemain yang tidak terlatih sebagai pemain tontonan [nyantri, maka itu sebabnya masyarakat menjadi pesantren dalam skala besar, seperti disbut Ben Anderson] seringkali amat sulit untuk berpartisipasi dalam tontonan yang memiliki jiwa berbeda dengan pertunjukan. Setelah siap sebagai pemain, sang kiai sebagai guru memberikan perintah agar membawa sebuah misi [seperti yang dilakonkan oleh Pangeran Diponegoro dan Kiai Maja, amrih maslahatane...] untuk disampaikan kepada masyarakat, komunitas lebih luas, kepada audiens, stakeholders, kepada penonton.
Dalam pertunjukanatau tontonan, para pemain bekerjasama seperti sepasukan prajurit dalam perang atau seperti pemain-pemain sepakbola melakukan total football untuk menciptakan tontonan. Sang kiai sebagai guru dalam pengertian ini, tidak mengajarkan kaidah-kaidah umum tentang pertunjukan atau seni akting. Dia mengajarkan satu bahasa khusus yang paling diperlukan untuk lakon [kemasyarakatan, kebangsaan, komunisme, anti-kolonialisme, dan seterusnya] yang dipilihnya. Baru kalau kaidah-kaidah umum itu diperlukan akan diajarkan, tapi tidak untuk dipegang sebagai patokan, hanya sebagai pengetahuan. Dan pengetahuan bukan merupakan tujuan, tapi usaha untuk mengamankan misi [seperti dilakonkan oleh Diponegoro, yang mengemban misi tersebut, yang dasar-dasarnya diletakkan dari dalam pesantren[1]] yang hendak disampaikan oleh lakon [kemasyarakatan, kebangsaan, komunisme, anti-kolonialisme, dan seterusnya] agar sampai kepada masyarakat. Ini adalah sebuah bahasa pendidikan.
Sebuah idiom dalam tradisi pesantren. Bahkan boleh dikatakan sebuah kerajaan teater dengan ideologis spiritual dan keyakinan-keyakinannya yang tersendiri. Sehingga sulit untuk dianggap akan memproduksi pemain-pemain yang bisa dipakai oleh kelompok yang lain [yang pro kolonial, yang diuntungkan oleh kolonialisme] – kecuali yang memiliki ideologis yang sama [itu yang dipakai untuk membaca kaki tangan penjajah dan antek-anteknya]. Filosofi dasarnya: Bertolak dari Yang Ada. dasar pikiran ini, yang juga merupakan ideologis spiritual mereka, adalah upaya menerima apa yang ada di tangan dan di sekitar kami. Lalu mereka melakukan optimasi dari apa yang ada tersebut, untuk mencapai apa yang mereka targetkan. Baik seluruh peralatan, semua kebutuhan, tempat bermain, cerita, pemain-pemain pendukung, dan sebagainya, kami manfaatkan dari apa yang ada. Tidak berarti dengan menerima apa yang ada, mereka menjadi terbatas. Justru dengan mengerti keterbatasan kami yang nyata, kami kemudian memperoleh peluang untuk melakukan atau mendapatkan apa yang harus ada. Itu yang mereka sebut “kreatifitas”.
Dalam tontonan mereka, dengan modal kreatifitas, hampir tidak ada yang tidak mungkin. Mencipta menjadi pekerjaan yang rutin. Karena dalam praktik, hidup di negara berkembang yang kurang dalam berbagai sarana dan fasilitas [dalam kondisi yang dikatakan kurang, miskin, dan seterusnya], mereka terpaksa kerja keras, memeras otak, mengoptimalkan hampir segala sesuatu dan menaklukkan hampir segala-galanya dengan kreatifitas. Kalau tidak seperti itu, kami tidak akan mampu main teater. Berproduksi menjadi semacam proses berjuang, karena menciptakan dan menjaga tradisi kepesantrenan, tradisi keulamaan, berarti menciptakan sesuatu dari yang seadanya. Untuk tidak menjadi seadanya harus dilakukan akrobatik pemikiran dan interpretasi yang kadangkala bisa berarti penukaran sudut pandangan serta penjungkirbalikan nilai-nilai artistik yang mapan. [filosofis tentang kesederhanaan, qana’ah, yang oleh Orientalis dibaca sebagai “shared poverty”, seperti Geertz itu; sebuah kata “shared” yang menghina bangunan komunitas, harga diri, yang merupakan basis ideologis pesantren].
Memimpin, mengasah dan mendidik santri bagi sang kiai dalam keadaan kesederhanaan] semacam itu, lebih merupakan usaha perang gerilya. Usaha menaklukkan keterbatasan. Usaha yang tidak terbatas kepada penciptaan setting, laku atau lakon. Tapi sudah meluas menjadi usaha menciptakan konsep-konsep dengan formula baru dalam menilai tradisi kepesantrenan. Sebuah meditasi. Karena seluruh aspek tindakannya adalah darurat, diperlukan kiat-kiat, akal serta sudut pandang baru. Karenanya hasilnya juga berbeda dengan hasil-hasil produksi bertradisi [beragama dan berkebudayaan] lainnya dalam keadaan normal, tak jarang ada distorsi. Ada kelainan, penyimpangan-penyimpangan bahkan pemutarbalikan yang kemudian secara fantastis berubah menjadi orisinalitas atau keunikan.
Kaum pesantren mengajak orang memikirkan kembali, memikirkan sekali lagi segala sesuatu yang sudah pernah disimpulkannya atau yang sudah diterima sebagai kesimpulan. Bukan untuk mengajak orang berbalik langkah atau mengingkari diri, tapi untuk mengaktualisasikan segala keyakinan-keyakinannya setiap saat. Dalam konteks itu, sang kiai hadir sebagai seorang pemimpin. Dan ke-syuyukhiyah-an lebih merupakan pengaturan strategi. Dalam mengatur strategi bukan hanya diperlukan akal tapi juga insting.
Anti-Tesis: Dialektika Ilmu-ilmu Sosial Pesantren
Sementara benturan pesantren dengan aktor-aktor dan agen-agen atau kaki-tangan penjajah, merupakan sebuah anti-tesis; dan, sintesis-nya adalah ilmu-ilmu sosial pesantren – dengan beragam perpsesi, strategi, dan responsnya. Tapi tidak berhenti di sana. Ilmu-ilmu sosial menginspirasi sebuah aksi, praksis, dua lapis. Lapis pertama, ideologi; kedua, praksis-gerakan, sehingga lahirlah pesantren bergerak, seperti akan dibahas dalam buku saya, Pesantren Studies Buku ke-4 Seperti pengalaman pesantren yang dekat dengan Pabrik-pabrik gula di masa kolonial: pergaulan dekat itu akan memunculkan ilmu orang-orang pesantren tentang ekonomi-politik, tentang pabrik gula, tentang logika kapitlaisme global, tentang perdagangan, tentang ketimpangan dalam ekonomi kolonial, tentang pengalaman kaum buruh yang terlibat di dalam ekonomi kapitlaisme, tentang bagaimana menyiasati bagaimana mengambil keuntungan material dari industri tersebut, tentang bagaimana melawan terhadap eksploitasi, hingga bagaimana melakukan revolusi dalam kepemilkan industri-industri tersebut.
Di sana ada persepsi bersama tentang situasi yang mereka alami, yang mereka rasakan, yang kemudian mereka respons, analisis, hingga sebuah perbuatan, yang disebut Gramsci dengan filsafat praksis –orang-orang kecil pun bisa berfilsafat, kaum sublatern pun bisa melalukan sesuatu yang revolusioner. Bagaimana kalangan pesantren membantu memperkaya konstruk tentang kaum penajajah itu, dimulai dengan sebuah konstruk tentang kaum “kafir” – sesuatu yang berbeda karena sebutan tersebut tidak dilekatkan kepada kalangan bangsa sendiri yang berbeda agama, seperti komunitas Tengger maupun masyarakat Bali.[3] Pendekatan terhadap komunitas yang bukan-Islam pada awal kedatangan Islam di Jawa misalnya di abad 15 dan 16, ditunjukkan dengan sebuah pendekatan budaya. Seperti disebut dalam Buku Primbon Sunan Bonang dari abad 16.
Demikian pula dengan interaksi orang-orang Nusantara dengan pedagang berbeda agama dari India, Cina atau dari Eropa, seperti Portugis. Sebutannya macam-macam: manca negara, dan seterusnya. Lihat Reid, Southeast asia in age of commerce. Demikian pula pengalaman Kiai Sadrach yang mengajarkan iman Kristiani, sambutan masyarakat Jawa terhadapnya tidaklah dalam konteks “Islam versus kafir”. Ini karena adanya ideologi “rukun” di antara berbagai komponen penduduk bangsa waktu itu. Dengan basis desa, seperti ditunjukkan di Jawa.[4] Karena rapatnya hubungan antara agama, adat, tradisi, dan kepercayaan. Seperti kosmologi kejawen, yang mewadahi beragam unsur agama di dalamnya; tapi kemudian diset sebagai kafir.
Demikian pula praktik keagamaan seperti slametan dan ziarah makam, yang tidak mengenal sekat-sekat puritanisme agama-agama tertentu, sehingga para partisipan yang ada di dalamnya, dari beragam agama, tidak mengenal dikotomi “Islam vs kafir”.
Pemaknaan tentang kafir muncul dalam konteks adanya kontestasi politik dan kebudayaan dengan kekuasaan luar, yang dipresentasikan oleh kekuasaan Inggris dan Belanda.[5] yang kemudian diperkaya dengan pemaknaan dari Dinasti Usmaniyah yang mempengaruhi politik kesultanan di Nusantara. Dimulai dari kasus Perang Diponegoro, Perang Aceh, hingga pembrontakan-pemebrontakan petani-kaum santri di berbagai daerah, seta beredarnya secara masif surat-surat wasiat, seperti dalam gerakan Rifaiyyah, dan seterusnya.
Ada pengidentifikasian demikian, karena kolonialisme menampilkan dirinya secara lebih vulgar sebagai seorang “kafir yang taat, beriman dan fanatik”. Seperti yang ditulis oleh kiai Wahid Hasyim dalam satu tulisannya di tahun 1945.
Benturan dengan Kolonialisme Berkulit Putih: Anak Muda Pesantren
Ilmu-ilmu Sosial Seperti ditulis dalam Berangkat dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, ketika masih nyantri di bawah asuhan KH Abdul Jamil, pengasuh Pesantren Mersi (sering diplesetkan ‘Mesir’), suatu malam datang seseorang dengan lampu senter bertanya kepada beberapa santri: “Opo iki dalan menyang omahe Karminem?” (Apakah ini jalan menuju rumah Karminem?) “Karminem? Hatiku bertanya. Karminem adalah seorang perempuan, pendatang dari d aerah lain. Itu jelas. Di desaku tak seorang perempuan pun memakai nama dengan akhiran “em” seperti Karminem, Kartinem, marminem, atau “em”-“em” yang lain. Orang-orang perempuan di desaku selalu memakai nama dengan akhiran “ah” seperti Hadijah, Mardiah, Syamsiah atau “ah”-“ah” yang lain.
Bagi kami, anak-anak Kauman, mengerti siapa yang dimaksud dengan Karminem, yang ditanyakan oleh pembawa lampu senter itu [yang ternyata kemudian adalah Ndoro Tuan Mantri Polisi]. Dia berasal dari daerah lain, menetap di Kauman dengan menyewa rumah di pinggir sungai terletak kira-kira 150 meter dari langgar kami. Konon, dia seorang janda muda yang sering menerima tetamu laki-laki di rumahnya. Sudah lama penduduk kampung melaporkan hal yang tak disukai penduduk kampung itu dan meminta kepada lurah desa agar dia pindah dari Kauman. ...Aku dan kebanyakan penduduk kampung amat mengenal Ndoro Tuan ini karena dia seorang amtenar Hindia Belanda yang bersikap keras, lambang kekuasaan yang tak mengenal rakyat.
Di kalangan anak-anak dijuluki “mantri galak”! Setelah mengulang kembali pertanyaannya, salah seorang kawan Saifuddin kecil langsung menimpalinya: “Embuh ora weruh!” (Tidak tahu!). Ucapannya disampaikan dalam bahasa Jawa ngoko. “Embuh ora weruh?”, kalimat itu ditirukan mantri polisi dengan suara geram, suara orang sedang marah. “Embuh ora weruh? Haaaahh? Ora iso boso ya?” (mengapa tidak bisa berbahasa “boso”?). Boso artinya berbahasa lebih sopan dan lebih tinggi tingkatannya, sebagai bahasa halus. “wong mantri polisi wae ora bisa boso apa maning aku!” jawab Ahmad Sadel. Maksdunya, kalau seorang Mantri Polisi sendiri tidak bisa boso apalagi dia yang cuma orang biasa! Setelah itu sang mantri polisi pun melangkah mundur, dan menghilang di tengah kegelapan malam. Disadari bahwa yang mereka hadapi adalah “seorang pejabat golongan priyayi alat kekuasaan Hindia Belanda”, “mantri polisi, alat kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang tidak menyukai kaum santri, yang membenci rakyat”.[6]
Permaianan bahasa, yang menyiasati bahasa, terhadap kolonialisme. Kaum santri ini memperoleh contoh dan teladan dari para kiainya.[7] Kalau Anda baca Berangkat dan Guruku akan tampak banyaknya siasat-siasat dan strategi itu dengan faktor bahasa ... Dua hari kemudian, ke-14 anak santri itu kemudian ditahan di kantor Asisten Wedana. Dengan umpatan dan kemarahn oleh sang mantri polisi, “Aku dan teman-temanku kan anak jajahan? Orang terjajah selamanya diperlakukan ‘salah’ dan ‘kalah’ meskipun berada di pihak yang benar.” Dan tetap saja mereka dapat hukuman: masing-masing mendapat satu kali sepakan kaki mantri polisi, membersihkan halaman kantor aisisten wedana.
Ini adalah benturan dengan kolonialisme, dari aspek yang lebih terlihat, visual, yang kasat mata: warna kulit, penampilan simbol-simbol kolonial, yang fisik, dan efek-efeknya (“dendam kesumat terhadap kolonialisme”) Membaca apa adanya kini mungkin sudah biasa. Tapi waktu itu Saifuddin Zuhri sedang menggambarkan sebuah strategi di kalangan pesantren dalam membaca realitas kekuasaan kolonial.
Zaman itu adalah masa yang digambarkan penuh disturbence bagi pemerintah kolonial. Terlalu banyak gerakan, terlalu banyak mobilitas dan pergerakan. Dan itu semua diawali dari bacaan-bacaan seperti buku Sukarno itu. Bagaimana sebetulnya benturan itu? Dari mana awalnya Kiai Saifudidn Zuhri belajar politik? Ditegaskannya, dari sang kiai. Tapi, sebetulnya, sebelum mengenal arti berpolitik, secara berpengetahuan, Saifuddin kecil sudah merasakan apa arti sesungguhnya berpolitik – yakni sebagai sebuah pengalaman. Ada yang mengatakan pengalaman adalah guru terbaik. Tapi lebih dari itu, pengalaman dalam sebuah konteks, dalam sebuah lokalitas, adalah sebuah “political education for everyday life”.Meskipun ditunjukkan dalam cerita kecilnya sebagai seorang santri pada seorang kiai.
Jadi, pengalaman masa kecil bukan diinterpretasikan dari sudut pandang sebagai pengalaman orang dewasa. Dari situ muncul persepsi apa arti “Wajah-wajah Kaki-tangan Penjajah”. Dalam konstruk orentalis, kebencian para lama dan kalangan pesantren terhadap penjajah, hanya dibaca dalam konteks dikotomik antara yang muslim dan kafir. Karena penjajah dianggap kafir, maka wajib diperangi. Tidak ada bacaan lain yang membuat kafir itu adalah kafir. Yang membuat mereka kafir karena mereka adalah penjajah, yang kemudian berkulit putih, dan juga pengikut dan antek-anteknya yang kemudian disebut “londo ireng” (Belanda hitam). Tapi keberadaan mereka semata sebagai orang kristen atau berkulit putih atau kafir, tidak ada masalah. Karena orang-orang pesantren juga menerima mereka demikian. Seperti ditunjukkan dalam pengalaman kaum santri di Banten, yang mengirim utusannya di Volksraad yang merupakan orang Kristen bule Belanda.
[1] Apa yang saya lakukan ini adalah tahap ketiga dari proses teorisasi (manhaji) keilmuan orang pesantren tentang kolonialisme. Tahap pertama adalah tahap awal kesadaran pendudk Nsuantara, komunitas pesantren, dan kalangan santri tentang eksploitasi, tentang basis keilmuan yang melegitimasi penjajahaan; tahap berikutnya, adalah proses manhaji atau konseptualisasi yang dilakukan oleh para kiai dan kaum santri tentang pengalaman dan kesadaran awal tersebut, dari yang qawli ke manhaji. Dan itu dibuktikan dengan sekian korpus manhaji yang mereka ijtihadkan .... Dan proses tersebut kemudian terbuka untuk tahapan manhaji berikutnya. Gus Dur melakukan proses itu, dengan bahasa-bahasa “pribumisasi Islam”, .... demikian pula yang saya lakukan kini. Ini mengikuti model manhaji yang dilakukan oleh para teorisi grup Sublatern Studies di India, seperti Partha Chatterjee, Chakrabarty, dst.
[2] Slamet Muljana, Kesadaran nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (Jakarta: Inti idayu Press, 1986), jilid 1, hal. 50-1. [3] Lihat M.C. Ricklefs, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the Division of Java (London: Oxford University Press, 1974), hal. 27.
[4] Seperti diakui Hendrik Kraemer dalam satu tulisannya di tahun 1930: “In the desas there is the traditionally recognized influence of ‘core-villagers’ as Prof. Van Vollenhoven called them. There is also a unity of desa-interests, and of religious activities promoting these desa-interests, such as slametans, bersih desa, agricultural ceremonies etc., in which the desa authorities, the lurah and the modin play the leading role. All this is aimed at warding off evil influences and obtaining divine blessing. To the Javanese mind there is no separation in these matters between the secular and the religious realm”. Sebagaimana dikutip dalam Karel Steenbrink, “Ethnic, National, and International Loyalties of Indonesian Christians”, dalam Martin Ramstedt (editor), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion between Local, National, and Global Interests (London: RoutledgeCurzon, 2004), hal. 112.
[5] Karel A. Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596–1950 (Amsterdam: Rodopi, 1993).
[6] Zuhri, Berangkat, hal. 66-7.
[7] Saifuddin Zuhri juga mengungkap, kebiasaan masyarakat Jawa adalah dengan bahasa satir, sindiran dan kiasan, dan itu di antaranya manusia Zuhri, diperoleh dari sajak-sajak Ronggowarsito (1802-1872). Sajak-sajak itu ebrbentuk tembang, mengandung isyarat-isyarat berbentuk nyanyian rakyat. Terkadang digubah dalam bentuk senda-gurau, orang suku Jawa menyebutnya “guyon pari keno”. Ibid., hal. 70. Lihat Selengkapnya
Oleh: Ahmad Baso
Share:

Recent Posts

Labels