Sabtu, 07 Mei 2011

Simulacra and Simulation

See no evil. Hear no evil. Membaca media saat ini semua terasa baik-baik saja. Paling tidak begitu menurut sebagian besar orang di sekitar. Tapi tetap ada yang mengganggu. Gangguan itu yang mendorong tulisan ini. Sedikit tulisan tentang Simulacra. Frasa tersebut sangat sering dibahas di buku ‘Sebuah Dunia yang Dilipat’, buku favorit saya karangan Bpk Yasraf Amir Pilliang. Lalu dalam film The Matrix, bahasan tentang simulacra juga muncul. Itu terjadi saat Neo menyimpan softwarenya, ada di dalam buku ‘Simulacra and Simulation’, dan terbuka bab ‘on Nihilism’. Konon Wachowski Brothers, sang pembuat The Matrix, sangat terpengaruh oleh buku tersebut.

Simulacra dicetuskan pertama kali oleh Jean Baudrillard, salah seorang filosof Perancis yang terkenal. Simulacra dapat diartikan sebagai tanda/simbol yang dibuat di media atau budaya untuk mempersepsikan realitas. Menurut Baudrillard, pada masyarakat modern, kenyataan telah digantikan oleh simulasi kenyataan, yang hanya diwakili oleh simbol dan tanda.

Lalu apa hubungannya dengan kenyataan sekarang? Kita baru saja melakukan pemilihan presiden. Dengan sistem pemilihan langsung, sebetulnya dapat diprediksi dengan cukup akurat siapa yang akan menjadi pemenang. Bila berkaca, kita bisa belajar dari Indonesian Idol atau Akademi Fantasi. Seringkali, kemampuan tidak terlalu relevan, asal tidak terlalu jelek. Yang penting adalah penampilan dan citra penyanyi. Kontestan anak seorang tukang becak yang tidak punya apa-apa tentu lebih disenangi daripada kontestan dari keluarga kaya.

Faktanya, kontestan yang membangun persepsi paling kuat, adalah pemenangnya. Persepsi itu, meskipun bukan kenyataan yang sebenarnya, diyakin banyak orang sebagai kebenaran. Saat itulah terjadi yang dipercayai sebagai sumber kebenaran bukanlah realitas. Melainkan simulacra. Mulai dari iklan-iklan, penggambaran karakter, penutupan berita satu dan penekanan berita lainnya, adegan telepon, blow up berita hasil pemilihan quick count dan mengabaikan hasil perhitungan KPU yang sebenarnya. Banyak lagi kejadian lain yang memperkuat tesa tersebut.

Apa yang terjadi sebagai efeknya? Masyarakat akan ter-detach (terlepas tautan) dari realitas sekitarnya. Efek lain? Pemegang media adalah pemegang kebenaran.
Share:

Selasa, 12 April 2011

Bersosiologi; Suatu Pengantar

Tentang Teori, Membaca dan Berteori
Ketika menyaksikan orang berbicara, dengan mudah kita sering menyatakan “ah, Anda berteori”. Sadar atau tidak, semua orang sebenarnya berteori. Orang tua menasehati anaknya, dengan membandingkan perilaku anak tetangga, sesungguhnya dia berteori. Komentar penonton bola di di depan Televisi, dengan mengatakan si A begini, si B begitu, seorang mahasiswa menjelaskan mengapa nilai ujian temannya buruk, seorang dokter, pengacara politisi berbicara tentang apa, mengapa, semuanya sesungguhnya berteori.
Persoalannya, orang tidak selalu sadar mengenai penjelasannya,ramalannya, asumsi-asumsi atau struktur logis dari pendapatnya itu. Semuanya dilakukkan bersifat implisit, dan orang selalu berbeda-beda di dalam membangun asumsi-asumsi teoritiknya itu, yang dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sosial dan orientasi intelektualnya. Ringkasnya, kita semua berteori, dalam proses menciptakan dan mempertahankan kenyataan sosial, meskipun kita tidak menganggap diri sendiri sebagai ahli teori sosial.
Hal penting yang perlu dicatat pula bahwa dalam kehidupan sosial, kita juga tidak selalu menghargai atau sekedar mengetahui bahwa asumsi-asumsi yang kita pakai diciptakan oleh orang-orang lain. Sesungguhnya, sebuah asumsi-asumsi akan berubah menjadi eksplisit jika pendapat seseorang itu dianut oleh kebanyakan orang. Menyadari kemungkinan ini, setiap teori implisit hendaknya ‘tunduk’ kepada keharusan pengujian-pengujian kebenaran. Dari sinilah muncul teori yang lebih eksplisit-formal, sehingga keabsahan menjadi analisis yang obyektif terpenuhi, dimana orang bisa memberi penilaian atau mempelajarinya. Bagian teori yang kita kenal dan kita pelajari dari berbagai hasil ciptaan para ahli teori adalah contoh teori eksplisit yang sudah mengalami proses pengujian-pengujian kebenaran.
Tetapi ketika mempelajari teori-teori eksplisit-formal tersebut, seringkali diri kita terjerumus dengan menjadikan teori sebagai dogma, dengan jalan akhir yang dibanyak sisi mengalami jalan buntu. Kita sering menemui diri kita terkerangkeng dalam sebuah ‘tembok suci’ sebuah teori, dan ‘gagal’ terlibat aktif dalam dunia yang luas dan nyata di luar tembok. Belajar teori sosiologi harus dipahami jauh dari sekedar menghafal ide-ide para ahli teori sosial, yang menempatkan hasil analisanya itu sebagai kebenaran akhir. Teori harus dipelajari karena warisan ilmiahnya bisa menjadi penuntun dalam memahami kenyataan sosial. Hanya saja kenyataan sosial itu harus diakui begitu luasnya, dan terus berkembang. Dengan demikian warisan teori itu harus dievaluasi relevansinya, sehingga terus aktual untuk menganalisis dunia sosial masa kini. Maka teori itu sesungguhnya tidak mengenal akhir.
Sejarah dan Konteks Sosial Lahirnya Teori Sosiologi
Dalam konteks lahirnya teori sosial saat itu perhatian intelektual terhadap masalah dan isu yang berhubungan dengan sosiologi sesungguhnya telah lama berkembang sebelum sosiologi itu menjadi disiplin ilmiah. Pada abad 18, para ahli filsafat pencerahan telah mengajarkan peranan akal budi dalam memahami perilaku manusia. Bahkan pada abad 14, penglaman kehidupan padang pasir telah melahirkan Ibn Khaldun, yang mengembangkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur dinamika masyarakat arab, sehingga dianggap bukan ‘trah-darah’ lahirnya teori sosial modern, tetapi diakui menyumbang perspektifnya.
Di prancis, revolusi Prancis beserta aktivitas-aktivitas sosialnya menjadi latar belakang sejarah bagi August Comte dalam menjelaskan sejarah perubahan sosial dalam model teoritisnya yang khas. Di Inggris, revolusi Inggris merangsang ahli-ahli teori sosial seperti Herbert Spencer dan Karl Marx (yang datang dari prancis setelah meninggalkan tanah kelahirannya Jerman) untuk mengembangkan penjelasan mengenai tipe keteraturan sosial baru yang muncul sebagai konsekuansi petumbuhan industri beserta perkembangan teknologi yang mengiringinya. Di Jerman, pertumbuhan industri beserta pergolakan politiknya, menarik perhatian Max Weber untuk memberi penjelasan tentang munculnya organisasi-organisai sosial yang semakin hirarkis dan rasional.
Gambaran sederhana mengenai kelahiran sosiologi ini tidak berarti bahwa sosiologi itu bersifat sejarah. Penting untuk membentuk pemahaman bahwa perubahan sosial yang besar dan perubahan budaya yang mendasar, telah merangsang perhatian intelektual darimana sosiologi akhirnya berkembang. Tidak ada dobrakan ilmiah atau dobrakan intelektual dari ruang kosong, dan sosiologi (mungkin ilimu-ilmu pengetahuan lainnya) sangat dipengaruhi oleh sejarah dan konteks sosialnya.
Sebagai contoh latar belakang yang langsung dari revolusi prancis yang meliputi perubahan-perubahan besar-besaran dalam struktur ekonomi, yang mengangkat kaum borjuis ke dalam satu posisi terpandang. Tetapi bukan hanya institusi ekonomi dan politik saja yang terlibat di dalamnya. Karena gereja begitu erat hubungannya dengan struktur kekuasaan feodal, tekanan-tekanan untuk perubahan politik revolusioner juga menyertakan perlawanan terhadap gereja, lembaga-lembaganya, serta kepercayaan-kepercayaannya. Salah satu hasil yang diperoleh dalam astronomi, yang mempertanyakan pandangan dunia diabad pertengahan dengan kosmologinya yang terpusat di bumi, membawa hasil Copernicu dan Galelio dikutuk. Kemunduran  kepercayaan-kepercayaan agama oleh pertumbuhan mentalis ilmiah ini, melahirkan August Comte yang berpikir perlunya pandangan-pandangan baru tentang manusia dan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Pada akhir abad ke 19, para ahli teori sosial lebih peka memahami kesulitan-kesulitan, serta hambatan-hambatan untuk mereorganisasi masyarakat secara sosial dibandingkan para filsuf abad pencerahan. Tetapi muncul hal baru, dimana arti ‘suatu ilmu tentang masyarakat’ mencuat secara berbeda-beda. Seperti para ahli sosial dari Prancis dengan Jerman. Tekanan yang diberikan oleh ahli teori sosial prancis dengan tradisi positivisnya, jelas kecenderungan manusia dan masyarakat seperti halnya hukum-hukum alam, sehingga hanya bisa ditemukan dengan jenis teknik ilmiah yang sama dengan teknik penelitian empiris dalam ilmu pengetahuan fisik.
Sementara ahli ilmu pengetahuan Jerman dengan historismenya, meskipun tertarik pula pada kecenderungan status sosilogi seperti halnya ilmu pengetahuan alam, tetapi mereka melihat berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Misalnya posisi Max Weber yang sangat jelas, dengan memberikan distingsi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu tentang masyarakat dan kebudayaan. Idenya tentang hakekat ilmu sosial yang meliputi arti dan kemauan manusia, mendorongnya membangun teknik atau metode analisis yang berbeda.
Kini, ketika kita menatap jauh ke depan, begitu jelas terhampar bahwa kecepatan dan kompleksitas perubahan sosial dalam masyarakat industri modern lebih besar dibandingkan dengan apa yang menjadi pengalaman hidup para ahli teori sosial masa silam. Perdebatanpun terus berkembang membuka pintu sampai pada kompleksitas kenyataan sosial. Muncul ilmuan-ilmuan yang memandang perlunya aktualisasi teori-teori besar yang telah ada. Namun kritik atas kemandegan terhadap teori-teori besarpun tak terbendung, menjadi pandangan baru untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat.
Bahkan muncul beberapa upaya untuk melakuakan dekontruksi atas kemapanan teori-teori besar dalam membaca kenyataan sosial yang terus berkembang. Namun harus dipahami juga bahwa betapapun derasnya kritik kritik hingga dekontruksi bergerak, kenyataannya sebuah teori lama tidak pernah berhasil dikubur. Bahkan kita menyaksikan pula keberadaan teori lama yang tampil bersandingan dengan teori-teori kontemporer.
Demikian teori-teori sosiologi ,memang tidak bisa memberikan formula dengan daya magis untuk menginterpretasikan kenyataan sosial atau membuat ramalan-ramalan masa depan ataupun memberikan jalan keluar terhadap isu-isu intelektual atau masalah yang dihadapinya. Tetapi kerangka konseptualnya dan intelektual dari persepektif sosiologi, serta gaya analisis yang diberikan oleh teori-teori tertentu dapat membantu kita untuk memahami dunia sosial kita. Pada gilirannya mampu menunjang obyektivitas dan kepekaan. Sekali lagi perlu dicatat bahwa bagaimanapun juga sebuah teori tetap harus dipelajari, sebab warisan ilmiahnya bisa menuntun kita dalam memahami kenyataan sosial. Dan harus dimengerti bahwa bagaimanapun juga dari Eropa-baratlah Sosiologi berkembang.
Sosiologi Sebagai Ilmu Multiparadigmatik
Thomas S. Khun, yang menunjuk pada asumsi-asumsi intelektual dasar yang dibuat oleh para ilmuan mengenai permasalahan-permasalahan yang disebut dengan istilah paradigma. Setidaknya Khun mengartikan suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (world view atau weltanchaung) yang dimiliki oleh ilmuwan dalam disiplin tertentu. Perbedaan-perbedaan antar paradigma ini, telah melahirkan perbedaan-perbedaan dalam orientasi masing-masing disiplin, yang tidak jarang melahirkan pertentangan antar mereka yang mewakili masing-masing paraigma. Bahkan tidak jarang konflik tersebut berjalan sekedar menurut rasional dan ilmiah saja. Ada dimensi politik dalam konflik itu yang mencerminkan indoktrinisasi dari para ilmuwan itu.
Mungkin kebanyakan ahli teori-teori sosial tidak akan menemukan alasan mendasar untuk bertengkar dengan pendirian intelektualnya. Pada akhirnya kita butuh kerendahan hati, paling tidak secara prinsip bahwa adanya ketidaklengakapan suatu teori apapun. Pengertian kita bahwa teori-teori yang berkompetisi itu dapat valid untuk tujuan dan kondisi tertentu.
Bagaimana dengan Sosiologi, apakah Sosiologi juga didominasi oleh suatu paradigma? Jawaban ‘Ya’, jika semua hal mengenai Sosiologi dipahami memiliki asumsi dasar bahwa sikap-sikap, kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, serta pola-pola perilaku individu yang fundamental sangat dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Namun dibalik pandangan umum ini, terdapat perbedaan yang sangat mencolok dalam asumsi-asumsi dasar dari para ahli Sosiologi yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan implikasinya terhadap metode-metode penelitiannya.
Dengan menggunakan konsep paradigma Khun, Ritzer mengembangkan analisis yang tepat mengenai sosiologi sebagai ilmu multiparadigmatik, yang membedakan tiga paradigma yang secara fundamental berbeda satu sama lain, antara lain; Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku Sosial. Paradigma fakta sosial diwakili oleh Emiel Durkheim, selama tahap perkembangan teori sosiologi klasik mendominasi. Pada masa kini terdapat dalam teori fungsionalisme dan teori konflik yang menekankan ide bahwa fakta sosial adalah riil, atau sekurang-kurangnya dapat diperlukan sebagai yang riil. Struktur sosial dan institusi sosial merupakan salah satu diantara fakta sosial itu yang mendapat perhatian khusus.
Paradigma definisi sosial menekankan hakekat kenyataan sosial yang bersifat subyektif, lebih dari pada eksistensinya yang terlepas dari individu. Selama tahap perkembangan teori klasik, paradigma ini diwakili dan dikembangkan oleh Max Weber dengan teori tindakannya. Lalu teori interaksionisme simbolik dari karya Herbert Mead, cooley, dan lain-lain. Teori-teori yang berbeda ini memiliki pandangan bahwa kenyataan sosial di dasarkan pada definisi subyektif individu dan penilaiannya. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola interaksinya dibimbing bersama, yang dikontruksikan melalui proses interaksi.
Paradigma perilaku sosial, menekankan pendekatan obyektif empiris terhadap kenyataan sosial. Menurut paradigma perilaku sosial, data empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku individu yang nyata. Pendekatan ini dikembangkan terutama dalam psikologi sosial, yang prinsip-prinsip dasarnya berasal dari Homans mengenai perilaku sosial. Berbagai paradigma tersebut sesungguhnya memperlihatkan tingkatan-tingkatan kenyataan sosial, yang bisa dibedakan sebagai berikut:
Tingkat individu
Dalam tingkatan ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian dalam analisis intinya. Perhatian tidak pada individu sebagai individu, melainkan pada satuan-satuan perilaku individu tersebut.
Tingkat antar individu
Kenyataan sosial pada tingkatan ini meliputi interaksi antar individu dengan semua arti yang berhubungan dengan komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, negosiasi mengenai bentuk-bentuk tindakan yang saling tergantung, kerja sama atau konflik atar pribadi, pola-pola adaptasi bersama atau berhubungan satu-sama lain terhadap lingkungan yang lebih luas. Dua perspektif teoritis utama yang menekankan tingkatan ini adalah interkasionisme simbolik dan teori pertukaran.
Tingkat struktur sosial
Perhatian pada pembahasan tingkatan ini terletak pada pola-pola tidakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam waktu dan ruang tertentu. Satuan-satuan yang penting dalam kenyataan sosial ditingkatan ini dilihat sebagai posisi-posisi sosial (didefinisikan menururt hubungan yang kurang lebih stabil dengan posisi-posisi lainnya) dan peranan-peranan sosial (didefinisikan menurut harapan-harapan bersama akan perilaku orang-orang yang menduduki berbagai posisi). Dua aliran utama yang berhubungan dengan tingkatan ini ini adalah teori fungsionalis dan konflik.
Tingkat budaya
Tingkatan ini meliputi; arti, nilai, symbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat atau sekelompok anggota masyarakat. Dalam pengertian yang luas, istilah kebudayaan terdiri dari produk-produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan dunia kebudayaan non-materi.
Beberapa paradigma yang telah  ditulis diatas merupakan sebuah pengantar bagi siapa saja yang ingin belajar sosiologi, perkenalan dengan perspektif sosiologi langsung terkesan betapa kompleksnya kenyataan sosial itu dan betapa sulitnya memberikan penjelasan yang sederhana sekalipun mengenai dunia manusia sosial ini. Meski demikian peliknya, tetap saja secara terbuka ditangan kita bahwa kemerdekaa untuk memilih teori seluas-luasnya diberikan secara sah oleh sosiologi itu sendiri. Satu hal yang digaris bawahi bahwa masalah mendasar di dalam sosiologi yang bermaksud menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana masyarakat itu sendiri, dengan kata lain sebenarnya menuntun kita untuk menaruh perhatian secara arif pada upaya membangaun prinsip-prinsip untuk memahami kejadian-kejadian sosial.
Share:

Senin, 11 April 2011

Strategi Pembelajaran Sosiologi Tingkat SMA

Persepsi-persepsi kronis telah menjadi milik sejumlah siswa SMA. Ilmu-ilmu sosial itu membosankan karena sajiannya bertele-tele dan untuk menguasainya dibutuhkan kemampuan menghafal yang luar biasa. Stereotip yang kurang mengesankan ini terajut dari impresi sosiologi sebagai produksi masa lampau yang dalam penyajiannya tidak relevan dengan konteks sosial siswa. Kontekstualisme ini diperhebat dengan kejenuhan mental dalam mengejar tuntutan pemenuhan kurikulum yakni menghafal sejumlah bab materi yang tersajikan dalam aneka buku wajib mata pelajaran. Seolah-olah para pelajar telah teralienasi dari diri mereka dan telah menjadi robot kurikulum, sehingga mereka tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain, refreshing dan melakukan interaksi sosial.
Tatkala guru menyajikan sejumlah teori sosial, mereka semakin bingung. Apa lagi, sajian-sajian itu tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan situasi sosial lingkungan sekitarnya. Mereka harus berpikir dua kali untuk mengasosiasikan teori dengan kenyataan hidupnya dan selanjutnya mencerna teori sajian guru. Keterlambatan dalam menginternalisasi materi pun terjadi. Konsep siswa baru pada tahap asosiasi, tetapi waktu pelajarannya keburu selesai. Siswa enggan melanjutkan hal itu lagi karena sudah terjaring limit waktu dan harus beralih ke mata pelajaran yang lain.
Ketika persepsi negatif merasuki pikiran siswa, minat dan motivasi belajarnya merosot. Interaksi belajar dalam kelas cenderung monoton. Guru asyik berceramah, sedangkan para siswa mengangguk-angguk pertanda guru harus segera mengakhiri pembelajaran itu. Ada yang melakukan aktivitas yang lain, seperti mengganggu teman, mendesah dan merintih. Ketika diadakan evaluasi ringan, banyak yang menunjukkan ketidakmengertiannya, lalu mereduksi bahwa mata pelajaran sosial seperti sosiologi sulit dan menjenuhkan.
Hal lain yang memperhebat persepsi negatif siswa adalah kurangnya pengetahuan guru akan situasi-situasi sosial actual, yang tengah berlangsung dalam masyarakat. Guru kurang mampu menghubungkan relevansi pelajaran dengan kenyataan praktis dan keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain dalam mengeksplorasi bahan pembelajaran. Selain itu, situasi dan kondisi belajar yang tidak nyaman, bising, panas dan kurang variatif juga akan mengurangi gairah belajar siswa.
Adanya indikasi kegagalan siswa dalam mempelajari sosiologi mendesak penulis untuk melihat masalah-masalah itu dalam kaitannya dengan alternatif pemecahan yang boleh ditempuh dalam proses pembelajaran, sehingga ada harapan bagi guru bahkan siswa sendiri untuk bisa menghengkangkan persepsi dan gejala yang menghantui sebagian pelajar itu.
Sekurang-kurangnya ada tiga masalah pokok yang melatarbelakangi keengganan peserta didik untuk mempelajari Sosiologi. Pertama, masalah teknik pembelajaran yang tidak menumbuhkan motivasi siswa. Seharusnya, proses pembelajaran itu dapat memacu keingintahuan siswa untuk membedah masalah-masalah seputar lingkungan sosialnya sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap masalah-masalah tersebut. Di sini, mereka bukan lagi dianggap sebagai tabula rasa, kertas kosong atau pribadi yang menerima secara pasif sajian yang tidak tepat sasaran empunya guru; pribadi yang tidak mengetahui apa-apa, melainkan pribadi yang telah berinteraksi dengan lingkungan dan berhak untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Kedua, eksistensi guru bukan sebagai fasilitator yang membelajarkan siswa, melainkan pribadi yang mengajar atau menggurui siswa. Kalau hal ini menjadi prioritas dalam pembelajaran maka kesan negatif yang bisa mematikan kreativitas siswa pun timbul, bahwa guru itu sumber ilmu tetapi siswa gudangnya ilmu. Siswa adalah bank dan guru adalah nasabahnya. Guru menabung ilmu dalam bank empunya siswa, sedangkan siswa tidak memiliki ilmu itu. Bukankah kehadiran seorang guru ibarat seorang bidan yang membantu mengeluarkan bayi dari perut seorang ibunya. Peran aktif siswa dalam mengeksplorasi dan mengkonstruksi pengetahuannya sangat diutamakan. Guru cuma memfasilitasi siswa guna mengikuti pola-pola kognitif dan memperlihatkan konsep pengetahuannya itu dapat berlaku benar untuk setiap keadaan atau sudah baku menurut referensi ilmu dan kebenaran epistemologis tertentu. Jadi, masalahnya terletak pada proses pembelajaran yang masih menganggap siswa sebagai obyek yang tidak mengetahui sesuatu.
Siswa membentuk konsep atau skemata melalui proses asimilasi dan akomodasi; sedangkan guru menunjukkan kebenaran konsep atau skemata pengetahuan siswa itu dengan hukum, teori dan kebenaran yang berlaku umum. Jika yang diperoleh siswa adalah ketidaksesuaian, maka guru dapat menunjukkan kesalahan konsep itu dan memperlihatkan yang benar, atau membantu mencari alasan, bukti dan referensi ilmiah untuk mengkonstruksi pengetahuan baru. Yang diharapkan dari guru adalah menguasai ketrampilan professional dan unjuk kerjanya. Membuat skenario pembelajaran yang mengesankan dan memacu keingintahuan peserta didik. Melatih kemampuan berpikir dan berinteraksi siswa secara benar sehingga siswa terpesona lalu berkesimpulan "Saya berpikir, maka saya ada, saya mengalaminya, maka saya bisa¨
Ketiga, penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan atraktif. Yang diharapkan dari siswa adalah merasa at home, menyenangi pelajaran, merasa membutuhkan ilmu itu serta dapat melaksanakan pesan pembelajaran.. Siswa dapat menterjemahkan isi pesan itu ke dalam ranah - ranah kognitif karena dari situlah sumber kompetensi baginya dan haluan evaluasi bagi guru. Siswa dapat memiliki keahlian afektif dan psikomotorik yang bisa diukur.
Menumbuhkan Motivasi
Jika keacuhan siswa karena kehilangan persepsi positif dalam mempelajari sosiologi maka urgensitas tindakan guru adalah mempunyai pemahaman yang tangguh tentang motivasi dan menemukan pola pembelajaran yang menumbuhkan motivasi siswa. Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan bahwa peserta didik yang malas itu disebabkan karena tidak adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan yang menyenangkan dari pembelajaran. Insentif dan perasaaan menyenangkan ini menjadi dorongan yang berarti bagi peserta didik. Seseorang berperilaku tertentu karena ingin mendapatkan sesuatu. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh peserta didik misalnya jika mereka naik kelas akan dibelikan mobil atau sepeda baru oleh orang tua. Hal ini bukan berarti guru harus seperti orang tua yang membelikan mobil, tetapi menyiapkan insentif berupa pujian (reinforcement) atau kesempatan melakukan pekerjaan lain yang memungkinkan mereka tidak terpinggirkan dari kawan-kawan lainnya.
Pujian guru menunjukkan penghargaan dan perhatian terhadap siswa. Siswa seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi dari pada memberikan perhatian ketika siswa tidak mau belajar dengan cara marah-marah dan hanya berkomentar yang merendahkan siswa, akan lebih efektif perhatian guru diarahkan pada suatu hal yang menumbuhkan rasa percaya diri dan kemauan untuk mencari informasi. Misalnya, si A pada saat ini belum bisa menjawabnya dengan baik, mungkin besok dia akan mempresentasikan informasi tersebut secara lebih lengkap.
Kerapkali insentif positif seperti di atas kurang manjur dan bahkan tidak memberi faedah perubahan bagi siswa. Kalau demikian halnya maka guru harus melihat kondisi yang memungkinkannya. Jika kondisi memaksa guru harus mempergunakan insentif negatif maka tipe insentif itu haruslah yang bermaksud untuk menghindar perolehan insentif yang tidak menyenangkan itu. Misalnya, si A tidak mengerjakan tugas bukan karena ia tidak bisa tetapi karena malas, maka insentif yang bisa diberikan adalah menyuruhnya untuk mengerjakan tugas tetapi dalam porsi yang lebih banyak untuk mengejar ketinggalannya. Pada kondisi ini diperlukan keahlian guru untuk melihat karakter siswa. Jika karakternya dipahami maka guru akan memberikan insentif yang lebih tepat.
Selain adanya insentif, motivasi juga bisa muncul bila ada pemenuhan kebutuhan yang signifikan dalam mempelajari sesuatu. Siswa akan dipacu jika ia menemukan manfaat yang berarti bagi dirinya yang kemudian bisa dilanjutkan dengan aktualisasi dirinya melalui pembelajaran itu, sebagaimana dikatakan oleh Abraham Maslow (1908-1970) dalam teori psikologinya, yakni semakin tinggi need achievement yang dimiliki seseorang semakin serius ia menggeluti sesuatu itu. Jadi, guru merupakan motivator yang memperlihatkan sejumlah manfaat dalam setiap sajian pembelajaran.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengembangkan motivasi dan minat peserta didik adalah dengan mengajak mereka melihat pengalaman-pengalaman yang pernah dimilikinya dan dijadikan topik pembelajaran dengan memperhatikan konteks kurikulum dan emosional psikologis peserta didik. Banyak lembaga pra-sekolah sudah mulai menggunakan metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar peserta didik mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Peserta didik diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya melalui apresiasi pengalaman konkret. Tapi seringkali karena keterbatasan waktu dan banyaknya mata pelajaran yang harus disajikan untuk peserta didik, hal ini agak sulit dipraktekkan. Minimalnya, guru mensetting suasana belajar dengan menghindari omelan-omelan, karena dengan itu peserta didik akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang menarik.
Membentuk Kemampuan Berpikir
Proses pembelajaran itu sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Struktur dan strata intelektual terbentuk ketika intelek manusia beradaptasi dengan hal-hal yang diserap oleh pancaindera. Menurut ahli psikologi, Jean Piaget (1896-1980), sebagaimana tubuh kita mempunyai struktur tertentu agar dapat berfungsi, pikiran kita juga mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata. Skema adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya seorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.
Skema juga bisa disebut sebagai konsep, gambaran atau kategori dalam diri manusia yang terjadi ketika manusia menggunakan pancainderanya. Gambaran itu akan semakin berkembang dan lengkap sesuai dengan tingkat kedewasaan manusia. Misalnya, anak yang sedang berjalan dengan ayahnya melihat seekor lembu. Ayahnya bertanya, ¡§Nak, lihat binatang apa itu? Andaikan saja anak itu belum pernah melihat lembu tetapi sudah pernah melihat kambing, maka yang sudah ada dalam pikirannya adalah skema tentang kambing. Dia menjawab,¡¨itu kambing.¡¨ Anak itu melihat ada sesuatu yang sama antara lembu dengan konsep kambing yang ia punyai. Misalnya, berkaki empat, bermata dua, berjalan merangkak dan bertelinga dua. Anak itu belum melihat perbedaannya dengan kambing. Apabila si anak mampu melihat perbedaan-perbedaannya, ia akan mengembangkan skemanya tentang lembu, tidak sebagai kambing lagi.
Apabila manusia mengintegrasikan gambaran baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya, maka ia melakukan proses asimilasi. Proses ini terjadi bila ada kesamaan dengan konsep yang sudah ada atau melengkapi konsep itu. Dikala manusia tidak menemukan kecocokan dengan konsep yang sudah ada maka manusia melakukan akomodasi. Dalam proses ini manusia membentuk skema baru. Seorang pelajar mempunyai skema dalam pikirannya bahwa air mendidih pada suhu 100"aC. Tetapi ketika ia memanaskan beberapa air ternyata ada yang mendidih pada suhu 90"aC, 110"aC dan 80"aC. Ia menemukan bahwa air itu tidak murni atau tercampur dengan zat lain, karena air mendidih pada suhu yang berbeda. Akhirnya, pelajar itu mengembangkan skemanya yang baru tentang air, bahwasannya hanya air yang murni bisa mendidih pada suhu 100"aC.
Benyamin S. Bloom (1956) melengkapi pendapat Jean Piaget dengan membuat stratifikasi intelektual yaitu menerapkan gaya pembelajaran dengan memperhatikan aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Memang diakui bahwa identifikasi strata intlektual ini jarang dimengerti dan diterapkan guru. Barangkali karena ketidaktahuan menggunakan prinsip-prinsip logika. Ukuran kemengertian siswa sebatas mempunyai jawaban persis sama dengan apa yang ada dalam buku, bukannya peta konsep (concept map) yang sama seperti kepunyaan guru. Belajar yang sesungguhnya adalah proses mentransfer konsep, seperti mempunyai kemampuan mengetahui apa yang dipelajari, membahasakannya dengan bahasa sendiri, menerapkannya dalam konteks yang praktis, mempunyai keahlian untuk membandingkan dan menganalisa serta bisa memberikan kesimpulan logis secara deduktif dan induktif dan seterusnya bisa menguraikan secara dialektis kesimpulan yang sudah disusunnya itu.
Kehadiran guru tidak lain membantu peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan strata intelektual itu dan memperlihatkan kesesuaiannya dengan kriteria kebenaran pengetahuan, yakni kebenaran yang selalu benar untuk setiap keadaan dengan konsep atau cara belajar yang sama, atau menurut referensi ahli dan acuan epistemologis yang membidanginya.
Belajar dengan Multimedia
Pembelajaran adalah proses rangsangan dan gerak balas peserta didik. Dalam rangsangan itu terkandung pesan intelektual, emotif dan afektif. Pesan akan lebih muda ditangkap oleh peserta didik apabila tersajikan melalui media empirik yang beranekaragam, seperti film, slide, foto, grafik serta diagram. Dari media inilah peserta didik terpacu untuk mengeluarkan ide, konsep atau membantu mereka mencerna sesuatu yang abstrak.
Dengan fasilitas empirik itu sesuatu yang abstrak atau bersifat historis direduksi pada suatu kenyataan yang bisa diinderai. Dengan demikian, persepsi temporal dan kebutuhan untuk mempelajarinya bisa muncul. Apabila siswa dilengkapi dengan insentif yang memadai maka kemampuannya untuk berasosiasi dan beradaptasi pun dapat diperoleh dengan segera.
Berkaitan dengan aktualisasi fasilitas empirik ini, tidak ada salahnya bagi guru untuk menjadikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sebagai topik aktual dalam pembelajaran. Hal ini penting dilakukan agar peserta didik berimpresi positif bahwa sebenarnya pengetahuan itu bisa diperoleh lewat lingkungan sekitarnya, dan bahkan pengetahuan itu terjadi dan sudah ada dalam dirinya. Yang harus mereka lakukan sekarang adalah memposisikannya secara konseptual dan tercerna dalam strata yang diajukan oleh Bloom. Agar hal ini bisa terjadi maka guru perlu mempersiapkan skenario pembelajaran yang tepat dan sesuai.

Contoh Pembelajaran Menggunakan Strata Intelektual dan Multimedia

Di bawah ini diberikan salah satu contoh pembelajaran yang menggunakan strata intelektual dan multimedia. Sebelum guru tampil di depan siswanya, guru sudah memikirkan atau memiliki konsep tertentu tentang topik yang ingin dibahas. Konsep itu tidak lain berupa sasaran kompetensi dan suasana yang ingin dibangun dalam pembelajaran. Dalam bahasa khas standarisasi nasional disebut dengan istilah RP (Rencana Pengajaran) berupa penetapan tujuan pembelejaran umum dan tujuan pembelajaran khusus dari suatu topik bahasan. Misalnya, suatu topik mengenai Dampak-Dampak Negatif dari Urbanisasi. Tujuan Pembelajaran Umumnya adalah siswa dapat memahami dampak-dampak negatif dari urbanisasi dan mengekplorasi pengalaman inderawinya serta mempunyai perspektif tertentu terhadap dampak-dampak tersebut. Kompetensi yang harus dimiliki siswa setelah pelajaran itu usai ialah menyebutkan dampak-dampak negatif dari urbanisasi, menghubungkan dampak yang satu dengan dampak yang lain, menjelaskan kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah, siswa dapat mengobjeksi kebijaksanaan tersebut, memberikan alternatif pemecahan dan siswa dapat mempunyai konsep sendiri tentang usaha-usaha mengerem laju urbanisasi.
Guru dapat menggunakan pendekatan rasional atau fungsional untuk topik ini karena selain guru menyampaikan konsep atau teori yang harus dicerna oleh peserta didik, guru juga menginginkan perilaku tertentu yang harus dimiliki oleh siswa, seperti aktivitas membaca koran/majalah atau mengangkat situasi-situasi hidupnya. Dalam pembelajaran, guru boleh menggunakan tiga metode sekaligus yaitu metode ceramah, diskusi dan tugas. Tentu saja guru harus terlebih dahulu mencari referensi buku, media masssa dan pengalaman-pengalaman aktual pada lingkungan sekitarnya.
Pada sesi pembahasan guru dapat menyajikan informasi mengenai urbanisasi, seperti pengertiannya, sebab-sebab terjadinya urbanisasi, contoh-contoh mengenai dampak positif dan negatifnya. Uraian itu disajikan terstruktur, singkat dan jelas.
Untuk membangkitkan perhatian dan menarik minat peserta didik maka sebelum memulai topik itu, terlebih dahulu disajikan gambar, foto, film atau slide OHP yang berhubungan dengan dampak-dampak negatif urbanisasi. Guna merangsang ingatan dan pengetahuan siswa, mereka diberi kesempatan untuk berkomentar atau menyampaikan tanggapannya masing-masing terhadap apa yang disajikan itu. Guru juga boleh menanyakan apakah mereka mempunyai cerita atau pengalaman yang mirip sama. Bagaimana mereka memberikan tanggapannya masing-masing terhadap cerita atau pengalaman itu. Guru kemudian menghubungkan realitas atau kesan inderawi itu dengan topik bahasan yang ingin dipelajari. Setiap jawaban yang diberikan selalu ditanggapi dengan reiforcement yang tepat.
Guru menjelaskan pengertian urbanisasi dan faktor-faktor yang menyebabkan urbanisasi serta memperlihatkan contoh-contoh positif dan negatif dari urbanisasi serta menyebutkan salah satu kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah, misalnya demi penertiban dan keindahan kota maka diadakan penggusuran rumah liar.
Demi melibatkan peran aktif peserta didik, maka mereka dibagi dalam kelompok-kelompok dan mendiskusikan dampak-dampak negatif itu, membandingkan dampak yang satu dengan yang lain. Mereka menjelaskan strategi yang pernah mereka atau pemerintah lakukan. Melihat keunggulan dan kelemahannya dan mengemukakan alternatif pemecahan baru. Guru bisa melakukan gerak mendekati, mengunjungi kelompok-kelompok itu dan menanyakan kesulitan apa yang dialami siswa dalam tugas itu.
Hasil diskusi kelompok dilaporkan dan masing-masing kelompok memberikan kritik dan tanggapan atas hasil diskusi itu. Kemudian, sebagai moderator guru memberikan masukan seimbang terhadap yang masih kurang. Salah seorang siswa diminta menyimpulkan hasil diskusi. Sebagai bahan tugas dan sekaligus mengevaluasi konsep yang dimiliki siswa, guru menyampaikan salah satu dampak positif dan negatif dari urbanisasi dan meminta siswa membeberkan solusi yang sudah pernah diambil pemerintah, menemukan kelemahan dan kelebihannya, mencari solusi alternatif serta memikirkan langkah-langkah apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi laju urbanisasi.

Evaluasi Rutin dan Penelitian Kelas
Evaluasi yang dimaksudkan adalah melihat sejauh mana keterlibatan aktif peserta didik dalam pembelajaran dan sejauh mana mereka memiliki kemampuan-kemampuan tertentu seperti yang digariskan dalam tujuan pembelajaran khusus. Bahan evaluasi bisa diperoleh dengan riset sederhana dan populasi kelas sebagai ruang lingkupnya. Guru mengukur keberhasilan itu lewat ujian dan latihan-latihan. Apabila 70 % siswa telah memiliki komptensi seperti yang diharapkan maka keberhasilan guru telah terukur. Apabila ditemukan daya beda atau angka perbandingan siswa yang mampu dan yang tidak mampu begitu tinggi maka guru perlu mengkaji bahan dan strategi yang cocok.. Guru juga bisa mendapatkan masukan bagi perbaikan pengajaran baik dari siswa sendiri maupun dari rekan sekerjanya.
Peserta didik diajak untuk mengemas cara pembelajaran yang serius dan menyenangkan. Mereka bisa mengkritik guru dan menunjukkan hal-hal mana yang harus diperbaiki sehingga pendekatan dalam pembelajaran bukannya top down, melainkan bottom up. Kalau boleh mereka sendiri yang menentukan hal-hal mana yang harus mereka pelajari yang kiranya mendesak dan bermanfaat bagi hidup mereka. Adanya kurikulum hanya sebagai referensi dan patokan alternatif.
Simpul Pembelajaran
Kegagalan guru dalam mengkonstruksi dan mengelola pembelajaran akan mengakibatkan ketidakberhasilan bagi peserta didik. Selain, peserta didik kehilangan minat dan perhatian dalam pembelajaran itu, mereka juga kehilangan motivasi untuk menggeluti mata pelajaran tersebut.
Indikasi positif dan sederhana yang harus dimiliki peserta didik adalah adanya gairah dan menyenangi pelajaran itu serta terpacu untuk mencari tahu sejauh mana pelajaran itu bermanfaat bagi dirinya. Bila ditemukan banyak siswa yang mulai menggeluti suatu problem sosial dengan bertanya, mengumpulkan informasi serta tidak jenuh menggunakan perpustakaan maka hampir bisa dipastikan bahwa antusiasisme siswa terhadap ilmu-ilmu sosial perlahan-lahan bangkit. Kalau indikasi itu yang terjadi maka guru wajib memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana memahami suatu peristiwa sosial dari kaca mata sosiologis dan menawarkan bagaimana cara membaca yang menggunakan peta konsep, dalam arti menggiatkan berbagai jenis kemampuan seperti yang diajukan oleh Bloom.
Hasil permenungan penulis atas pembelajaran sosiologi di masa lalu mengurgenkan penulis untuk menyuarakan beberapa saran. Bagi guru, perlu ada peningkatan unjuk profesionalnya dalam mengemas bahan pelajaran, menyampaikannya, mengelola dan membuat evaluasi atas pembelajaran yang terjadi serta melengkapi diri dengan keahlian menerapkan konsep logika dalam pembelajaran. Selain itu, mempersiapkan fasilitas yang lahir dari kreativitasnya, bukan sekedar menunggu dipenuhi oleh lembaga tertentu. Menambah wawasan dengan membaca dan melihat keterkaitan ilmunya dengan ilmu-ilmu lain serta menyajikan manfaat yang bisa diperoleh siswa dengan mempelajari pelajaran tertentu, sehingga mereka termotivasi untuk menggelutinya.
Oleh karena kualitas siswa yang menjadi sorotan keberhasilan pendidikan, maka siswa sendiri perlu mempertanyakan eksistensinya dalam belajar. Siswa dapat membuat refleksi yang memadai tentang dirinya, aktivitasnya, harapannya, cita-citanya dukungan orang tua, menyadari betapa pentingnya waktu, dan terutama mempertanyakan dirinya tentang apa arti hidupnya.
Bagi organ sekolah dan stakeholders pendidikan agar tidak melihat keberhasilan dunia pendidikan saja tetapi mempertanyakan apa perannya masing-masing. Tidak lupa penulis mengharapkan decision makers agar menyederhanakan jumlah mata pelajaran sehingga siswa tidak terbebani dengan begitu banyak jumlah pelajaran dan akhirnya kehilangan motivasi belajar. Kita menginginkan sesuatu yang jumlahnya sedikit tetapi isinya padat dari pada jumlahnya banyak tetapi isinya tiada. Barangkali perlu dipikirkan cara-cara untuk menumbuhkembangkan konsep berpikir yang tahan uji pada diri peserta didik, bukan sekedar menuntut prosentase kelulusan. Oleh karena itu, perlu juga dibangkitkan wacana publik tentang adanya konstitusi pendidikan yang tidak terkontaminasi dengan muatan-muatan politis dan mengatur secara jelas kurikulum yang stabil serta pengalokasian dana pendidikan yang cukup untuk membiayai pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkan. Peny. (2002). John Muller: Cerdas di Sekolah Kepribadian. Jakarta: 2002
H. Chalijah Hasan (1994). Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Jakarta: Al-Ikhlas.
Piaget, J. (1970). Genetic Epistemology. New York: Columbia University Press
Rini, M. (2002). Anakku Malas Belajar. Jakarta: Majalah Psikologi(Internet).
Sumadi Suryabrata (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Suparno, P. (2002). Filsafat Konstuksivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Share:

Recent Posts

Labels