Tentang Teori, Membaca dan Berteori
Ketika menyaksikan orang berbicara, dengan mudah kita sering menyatakan “ah, Anda berteori”. Sadar atau tidak, semua orang sebenarnya berteori. Orang tua menasehati anaknya, dengan membandingkan perilaku anak tetangga, sesungguhnya dia berteori. Komentar penonton bola di di depan Televisi, dengan mengatakan si A begini, si B begitu, seorang mahasiswa menjelaskan mengapa nilai ujian temannya buruk, seorang dokter, pengacara politisi berbicara tentang apa, mengapa, semuanya sesungguhnya berteori.
Persoalannya, orang tidak selalu sadar mengenai penjelasannya,ramalannya, asumsi-asumsi atau struktur logis dari pendapatnya itu. Semuanya dilakukkan bersifat implisit, dan orang selalu berbeda-beda di dalam membangun asumsi-asumsi teoritiknya itu, yang dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sosial dan orientasi intelektualnya. Ringkasnya, kita semua berteori, dalam proses menciptakan dan mempertahankan kenyataan sosial, meskipun kita tidak menganggap diri sendiri sebagai ahli teori sosial.
Hal penting yang perlu dicatat pula bahwa dalam kehidupan sosial, kita juga tidak selalu menghargai atau sekedar mengetahui bahwa asumsi-asumsi yang kita pakai diciptakan oleh orang-orang lain. Sesungguhnya, sebuah asumsi-asumsi akan berubah menjadi eksplisit jika pendapat seseorang itu dianut oleh kebanyakan orang. Menyadari kemungkinan ini, setiap teori implisit hendaknya ‘tunduk’ kepada keharusan pengujian-pengujian kebenaran. Dari sinilah muncul teori yang lebih eksplisit-formal, sehingga keabsahan menjadi analisis yang obyektif terpenuhi, dimana orang bisa memberi penilaian atau mempelajarinya. Bagian teori yang kita kenal dan kita pelajari dari berbagai hasil ciptaan para ahli teori adalah contoh teori eksplisit yang sudah mengalami proses pengujian-pengujian kebenaran.
Tetapi ketika mempelajari teori-teori eksplisit-formal tersebut, seringkali diri kita terjerumus dengan menjadikan teori sebagai dogma, dengan jalan akhir yang dibanyak sisi mengalami jalan buntu. Kita sering menemui diri kita terkerangkeng dalam sebuah ‘tembok suci’ sebuah teori, dan ‘gagal’ terlibat aktif dalam dunia yang luas dan nyata di luar tembok. Belajar teori sosiologi harus dipahami jauh dari sekedar menghafal ide-ide para ahli teori sosial, yang menempatkan hasil analisanya itu sebagai kebenaran akhir. Teori harus dipelajari karena warisan ilmiahnya bisa menjadi penuntun dalam memahami kenyataan sosial. Hanya saja kenyataan sosial itu harus diakui begitu luasnya, dan terus berkembang. Dengan demikian warisan teori itu harus dievaluasi relevansinya, sehingga terus aktual untuk menganalisis dunia sosial masa kini. Maka teori itu sesungguhnya tidak mengenal akhir.
Sejarah dan Konteks Sosial Lahirnya Teori Sosiologi
Dalam konteks lahirnya teori sosial saat itu perhatian intelektual terhadap masalah dan isu yang berhubungan dengan sosiologi sesungguhnya telah lama berkembang sebelum sosiologi itu menjadi disiplin ilmiah. Pada abad 18, para ahli filsafat pencerahan telah mengajarkan peranan akal budi dalam memahami perilaku manusia. Bahkan pada abad 14, penglaman kehidupan padang pasir telah melahirkan Ibn Khaldun, yang mengembangkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur dinamika masyarakat arab, sehingga dianggap bukan ‘trah-darah’ lahirnya teori sosial modern, tetapi diakui menyumbang perspektifnya.
Di prancis, revolusi Prancis beserta aktivitas-aktivitas sosialnya menjadi latar belakang sejarah bagi August Comte dalam menjelaskan sejarah perubahan sosial dalam model teoritisnya yang khas. Di Inggris, revolusi Inggris merangsang ahli-ahli teori sosial seperti Herbert Spencer dan Karl Marx (yang datang dari prancis setelah meninggalkan tanah kelahirannya Jerman) untuk mengembangkan penjelasan mengenai tipe keteraturan sosial baru yang muncul sebagai konsekuansi petumbuhan industri beserta perkembangan teknologi yang mengiringinya. Di Jerman, pertumbuhan industri beserta pergolakan politiknya, menarik perhatian Max Weber untuk memberi penjelasan tentang munculnya organisasi-organisai sosial yang semakin hirarkis dan rasional.
Gambaran sederhana mengenai kelahiran sosiologi ini tidak berarti bahwa sosiologi itu bersifat sejarah. Penting untuk membentuk pemahaman bahwa perubahan sosial yang besar dan perubahan budaya yang mendasar, telah merangsang perhatian intelektual darimana sosiologi akhirnya berkembang. Tidak ada dobrakan ilmiah atau dobrakan intelektual dari ruang kosong, dan sosiologi (mungkin ilimu-ilmu pengetahuan lainnya) sangat dipengaruhi oleh sejarah dan konteks sosialnya.
Sebagai contoh latar belakang yang langsung dari revolusi prancis yang meliputi perubahan-perubahan besar-besaran dalam struktur ekonomi, yang mengangkat kaum borjuis ke dalam satu posisi terpandang. Tetapi bukan hanya institusi ekonomi dan politik saja yang terlibat di dalamnya. Karena gereja begitu erat hubungannya dengan struktur kekuasaan feodal, tekanan-tekanan untuk perubahan politik revolusioner juga menyertakan perlawanan terhadap gereja, lembaga-lembaganya, serta kepercayaan-kepercayaannya. Salah satu hasil yang diperoleh dalam astronomi, yang mempertanyakan pandangan dunia diabad pertengahan dengan kosmologinya yang terpusat di bumi, membawa hasil Copernicu dan Galelio dikutuk. Kemunduran kepercayaan-kepercayaan agama oleh pertumbuhan mentalis ilmiah ini, melahirkan August Comte yang berpikir perlunya pandangan-pandangan baru tentang manusia dan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Pada akhir abad ke 19, para ahli teori sosial lebih peka memahami kesulitan-kesulitan, serta hambatan-hambatan untuk mereorganisasi masyarakat secara sosial dibandingkan para filsuf abad pencerahan. Tetapi muncul hal baru, dimana arti ‘suatu ilmu tentang masyarakat’ mencuat secara berbeda-beda. Seperti para ahli sosial dari Prancis dengan Jerman. Tekanan yang diberikan oleh ahli teori sosial prancis dengan tradisi positivisnya, jelas kecenderungan manusia dan masyarakat seperti halnya hukum-hukum alam, sehingga hanya bisa ditemukan dengan jenis teknik ilmiah yang sama dengan teknik penelitian empiris dalam ilmu pengetahuan fisik.
Sementara ahli ilmu pengetahuan Jerman dengan historismenya, meskipun tertarik pula pada kecenderungan status sosilogi seperti halnya ilmu pengetahuan alam, tetapi mereka melihat berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Misalnya posisi Max Weber yang sangat jelas, dengan memberikan distingsi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu tentang masyarakat dan kebudayaan. Idenya tentang hakekat ilmu sosial yang meliputi arti dan kemauan manusia, mendorongnya membangun teknik atau metode analisis yang berbeda.
Kini, ketika kita menatap jauh ke depan, begitu jelas terhampar bahwa kecepatan dan kompleksitas perubahan sosial dalam masyarakat industri modern lebih besar dibandingkan dengan apa yang menjadi pengalaman hidup para ahli teori sosial masa silam. Perdebatanpun terus berkembang membuka pintu sampai pada kompleksitas kenyataan sosial. Muncul ilmuan-ilmuan yang memandang perlunya aktualisasi teori-teori besar yang telah ada. Namun kritik atas kemandegan terhadap teori-teori besarpun tak terbendung, menjadi pandangan baru untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat.
Bahkan muncul beberapa upaya untuk melakuakan dekontruksi atas kemapanan teori-teori besar dalam membaca kenyataan sosial yang terus berkembang. Namun harus dipahami juga bahwa betapapun derasnya kritik kritik hingga dekontruksi bergerak, kenyataannya sebuah teori lama tidak pernah berhasil dikubur. Bahkan kita menyaksikan pula keberadaan teori lama yang tampil bersandingan dengan teori-teori kontemporer.
Demikian teori-teori sosiologi ,memang tidak bisa memberikan formula dengan daya magis untuk menginterpretasikan kenyataan sosial atau membuat ramalan-ramalan masa depan ataupun memberikan jalan keluar terhadap isu-isu intelektual atau masalah yang dihadapinya. Tetapi kerangka konseptualnya dan intelektual dari persepektif sosiologi, serta gaya analisis yang diberikan oleh teori-teori tertentu dapat membantu kita untuk memahami dunia sosial kita. Pada gilirannya mampu menunjang obyektivitas dan kepekaan. Sekali lagi perlu dicatat bahwa bagaimanapun juga sebuah teori tetap harus dipelajari, sebab warisan ilmiahnya bisa menuntun kita dalam memahami kenyataan sosial. Dan harus dimengerti bahwa bagaimanapun juga dari Eropa-baratlah Sosiologi berkembang.
Sosiologi Sebagai Ilmu Multiparadigmatik
Thomas S. Khun, yang menunjuk pada asumsi-asumsi intelektual dasar yang dibuat oleh para ilmuan mengenai permasalahan-permasalahan yang disebut dengan istilah paradigma. Setidaknya Khun mengartikan suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (world view atau weltanchaung) yang dimiliki oleh ilmuwan dalam disiplin tertentu. Perbedaan-perbedaan antar paradigma ini, telah melahirkan perbedaan-perbedaan dalam orientasi masing-masing disiplin, yang tidak jarang melahirkan pertentangan antar mereka yang mewakili masing-masing paraigma. Bahkan tidak jarang konflik tersebut berjalan sekedar menurut rasional dan ilmiah saja. Ada dimensi politik dalam konflik itu yang mencerminkan indoktrinisasi dari para ilmuwan itu.
Mungkin kebanyakan ahli teori-teori sosial tidak akan menemukan alasan mendasar untuk bertengkar dengan pendirian intelektualnya. Pada akhirnya kita butuh kerendahan hati, paling tidak secara prinsip bahwa adanya ketidaklengakapan suatu teori apapun. Pengertian kita bahwa teori-teori yang berkompetisi itu dapat valid untuk tujuan dan kondisi tertentu.
Bagaimana dengan Sosiologi, apakah Sosiologi juga didominasi oleh suatu paradigma? Jawaban ‘Ya’, jika semua hal mengenai Sosiologi dipahami memiliki asumsi dasar bahwa sikap-sikap, kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, serta pola-pola perilaku individu yang fundamental sangat dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Namun dibalik pandangan umum ini, terdapat perbedaan yang sangat mencolok dalam asumsi-asumsi dasar dari para ahli Sosiologi yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan implikasinya terhadap metode-metode penelitiannya.
Dengan menggunakan konsep paradigma Khun, Ritzer mengembangkan analisis yang tepat mengenai sosiologi sebagai ilmu multiparadigmatik, yang membedakan tiga paradigma yang secara fundamental berbeda satu sama lain, antara lain; Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku Sosial. Paradigma fakta sosial diwakili oleh Emiel Durkheim, selama tahap perkembangan teori sosiologi klasik mendominasi. Pada masa kini terdapat dalam teori fungsionalisme dan teori konflik yang menekankan ide bahwa fakta sosial adalah riil, atau sekurang-kurangnya dapat diperlukan sebagai yang riil. Struktur sosial dan institusi sosial merupakan salah satu diantara fakta sosial itu yang mendapat perhatian khusus.
Paradigma definisi sosial menekankan hakekat kenyataan sosial yang bersifat subyektif, lebih dari pada eksistensinya yang terlepas dari individu. Selama tahap perkembangan teori klasik, paradigma ini diwakili dan dikembangkan oleh Max Weber dengan teori tindakannya. Lalu teori interaksionisme simbolik dari karya Herbert Mead, cooley, dan lain-lain. Teori-teori yang berbeda ini memiliki pandangan bahwa kenyataan sosial di dasarkan pada definisi subyektif individu dan penilaiannya. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola interaksinya dibimbing bersama, yang dikontruksikan melalui proses interaksi.
Paradigma perilaku sosial, menekankan pendekatan obyektif empiris terhadap kenyataan sosial. Menurut paradigma perilaku sosial, data empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku individu yang nyata. Pendekatan ini dikembangkan terutama dalam psikologi sosial, yang prinsip-prinsip dasarnya berasal dari Homans mengenai perilaku sosial. Berbagai paradigma tersebut sesungguhnya memperlihatkan tingkatan-tingkatan kenyataan sosial, yang bisa dibedakan sebagai berikut:
Tingkat individu
Dalam tingkatan ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian dalam analisis intinya. Perhatian tidak pada individu sebagai individu, melainkan pada satuan-satuan perilaku individu tersebut.
Tingkat antar individu
Kenyataan sosial pada tingkatan ini meliputi interaksi antar individu dengan semua arti yang berhubungan dengan komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, negosiasi mengenai bentuk-bentuk tindakan yang saling tergantung, kerja sama atau konflik atar pribadi, pola-pola adaptasi bersama atau berhubungan satu-sama lain terhadap lingkungan yang lebih luas. Dua perspektif teoritis utama yang menekankan tingkatan ini adalah interkasionisme simbolik dan teori pertukaran.
Tingkat struktur sosial
Perhatian pada pembahasan tingkatan ini terletak pada pola-pola tidakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam waktu dan ruang tertentu. Satuan-satuan yang penting dalam kenyataan sosial ditingkatan ini dilihat sebagai posisi-posisi sosial (didefinisikan menururt hubungan yang kurang lebih stabil dengan posisi-posisi lainnya) dan peranan-peranan sosial (didefinisikan menurut harapan-harapan bersama akan perilaku orang-orang yang menduduki berbagai posisi). Dua aliran utama yang berhubungan dengan tingkatan ini ini adalah teori fungsionalis dan konflik.
Tingkat budaya
Tingkatan ini meliputi; arti, nilai, symbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat atau sekelompok anggota masyarakat. Dalam pengertian yang luas, istilah kebudayaan terdiri dari produk-produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan dunia kebudayaan non-materi.
Beberapa paradigma yang telah ditulis diatas merupakan sebuah pengantar bagi siapa saja yang ingin belajar sosiologi, perkenalan dengan perspektif sosiologi langsung terkesan betapa kompleksnya kenyataan sosial itu dan betapa sulitnya memberikan penjelasan yang sederhana sekalipun mengenai dunia manusia sosial ini. Meski demikian peliknya, tetap saja secara terbuka ditangan kita bahwa kemerdekaa untuk memilih teori seluas-luasnya diberikan secara sah oleh sosiologi itu sendiri. Satu hal yang digaris bawahi bahwa masalah mendasar di dalam sosiologi yang bermaksud menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana masyarakat itu sendiri, dengan kata lain sebenarnya menuntun kita untuk menaruh perhatian secara arif pada upaya membangaun prinsip-prinsip untuk memahami kejadian-kejadian sosial.
Ketika menyaksikan orang berbicara, dengan mudah kita sering menyatakan “ah, Anda berteori”. Sadar atau tidak, semua orang sebenarnya berteori. Orang tua menasehati anaknya, dengan membandingkan perilaku anak tetangga, sesungguhnya dia berteori. Komentar penonton bola di di depan Televisi, dengan mengatakan si A begini, si B begitu, seorang mahasiswa menjelaskan mengapa nilai ujian temannya buruk, seorang dokter, pengacara politisi berbicara tentang apa, mengapa, semuanya sesungguhnya berteori.
Persoalannya, orang tidak selalu sadar mengenai penjelasannya,ramalannya, asumsi-asumsi atau struktur logis dari pendapatnya itu. Semuanya dilakukkan bersifat implisit, dan orang selalu berbeda-beda di dalam membangun asumsi-asumsi teoritiknya itu, yang dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sosial dan orientasi intelektualnya. Ringkasnya, kita semua berteori, dalam proses menciptakan dan mempertahankan kenyataan sosial, meskipun kita tidak menganggap diri sendiri sebagai ahli teori sosial.
Hal penting yang perlu dicatat pula bahwa dalam kehidupan sosial, kita juga tidak selalu menghargai atau sekedar mengetahui bahwa asumsi-asumsi yang kita pakai diciptakan oleh orang-orang lain. Sesungguhnya, sebuah asumsi-asumsi akan berubah menjadi eksplisit jika pendapat seseorang itu dianut oleh kebanyakan orang. Menyadari kemungkinan ini, setiap teori implisit hendaknya ‘tunduk’ kepada keharusan pengujian-pengujian kebenaran. Dari sinilah muncul teori yang lebih eksplisit-formal, sehingga keabsahan menjadi analisis yang obyektif terpenuhi, dimana orang bisa memberi penilaian atau mempelajarinya. Bagian teori yang kita kenal dan kita pelajari dari berbagai hasil ciptaan para ahli teori adalah contoh teori eksplisit yang sudah mengalami proses pengujian-pengujian kebenaran.
Tetapi ketika mempelajari teori-teori eksplisit-formal tersebut, seringkali diri kita terjerumus dengan menjadikan teori sebagai dogma, dengan jalan akhir yang dibanyak sisi mengalami jalan buntu. Kita sering menemui diri kita terkerangkeng dalam sebuah ‘tembok suci’ sebuah teori, dan ‘gagal’ terlibat aktif dalam dunia yang luas dan nyata di luar tembok. Belajar teori sosiologi harus dipahami jauh dari sekedar menghafal ide-ide para ahli teori sosial, yang menempatkan hasil analisanya itu sebagai kebenaran akhir. Teori harus dipelajari karena warisan ilmiahnya bisa menjadi penuntun dalam memahami kenyataan sosial. Hanya saja kenyataan sosial itu harus diakui begitu luasnya, dan terus berkembang. Dengan demikian warisan teori itu harus dievaluasi relevansinya, sehingga terus aktual untuk menganalisis dunia sosial masa kini. Maka teori itu sesungguhnya tidak mengenal akhir.
Sejarah dan Konteks Sosial Lahirnya Teori Sosiologi
Dalam konteks lahirnya teori sosial saat itu perhatian intelektual terhadap masalah dan isu yang berhubungan dengan sosiologi sesungguhnya telah lama berkembang sebelum sosiologi itu menjadi disiplin ilmiah. Pada abad 18, para ahli filsafat pencerahan telah mengajarkan peranan akal budi dalam memahami perilaku manusia. Bahkan pada abad 14, penglaman kehidupan padang pasir telah melahirkan Ibn Khaldun, yang mengembangkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur dinamika masyarakat arab, sehingga dianggap bukan ‘trah-darah’ lahirnya teori sosial modern, tetapi diakui menyumbang perspektifnya.
Di prancis, revolusi Prancis beserta aktivitas-aktivitas sosialnya menjadi latar belakang sejarah bagi August Comte dalam menjelaskan sejarah perubahan sosial dalam model teoritisnya yang khas. Di Inggris, revolusi Inggris merangsang ahli-ahli teori sosial seperti Herbert Spencer dan Karl Marx (yang datang dari prancis setelah meninggalkan tanah kelahirannya Jerman) untuk mengembangkan penjelasan mengenai tipe keteraturan sosial baru yang muncul sebagai konsekuansi petumbuhan industri beserta perkembangan teknologi yang mengiringinya. Di Jerman, pertumbuhan industri beserta pergolakan politiknya, menarik perhatian Max Weber untuk memberi penjelasan tentang munculnya organisasi-organisai sosial yang semakin hirarkis dan rasional.
Gambaran sederhana mengenai kelahiran sosiologi ini tidak berarti bahwa sosiologi itu bersifat sejarah. Penting untuk membentuk pemahaman bahwa perubahan sosial yang besar dan perubahan budaya yang mendasar, telah merangsang perhatian intelektual darimana sosiologi akhirnya berkembang. Tidak ada dobrakan ilmiah atau dobrakan intelektual dari ruang kosong, dan sosiologi (mungkin ilimu-ilmu pengetahuan lainnya) sangat dipengaruhi oleh sejarah dan konteks sosialnya.
Sebagai contoh latar belakang yang langsung dari revolusi prancis yang meliputi perubahan-perubahan besar-besaran dalam struktur ekonomi, yang mengangkat kaum borjuis ke dalam satu posisi terpandang. Tetapi bukan hanya institusi ekonomi dan politik saja yang terlibat di dalamnya. Karena gereja begitu erat hubungannya dengan struktur kekuasaan feodal, tekanan-tekanan untuk perubahan politik revolusioner juga menyertakan perlawanan terhadap gereja, lembaga-lembaganya, serta kepercayaan-kepercayaannya. Salah satu hasil yang diperoleh dalam astronomi, yang mempertanyakan pandangan dunia diabad pertengahan dengan kosmologinya yang terpusat di bumi, membawa hasil Copernicu dan Galelio dikutuk. Kemunduran kepercayaan-kepercayaan agama oleh pertumbuhan mentalis ilmiah ini, melahirkan August Comte yang berpikir perlunya pandangan-pandangan baru tentang manusia dan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Pada akhir abad ke 19, para ahli teori sosial lebih peka memahami kesulitan-kesulitan, serta hambatan-hambatan untuk mereorganisasi masyarakat secara sosial dibandingkan para filsuf abad pencerahan. Tetapi muncul hal baru, dimana arti ‘suatu ilmu tentang masyarakat’ mencuat secara berbeda-beda. Seperti para ahli sosial dari Prancis dengan Jerman. Tekanan yang diberikan oleh ahli teori sosial prancis dengan tradisi positivisnya, jelas kecenderungan manusia dan masyarakat seperti halnya hukum-hukum alam, sehingga hanya bisa ditemukan dengan jenis teknik ilmiah yang sama dengan teknik penelitian empiris dalam ilmu pengetahuan fisik.
Sementara ahli ilmu pengetahuan Jerman dengan historismenya, meskipun tertarik pula pada kecenderungan status sosilogi seperti halnya ilmu pengetahuan alam, tetapi mereka melihat berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Misalnya posisi Max Weber yang sangat jelas, dengan memberikan distingsi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu tentang masyarakat dan kebudayaan. Idenya tentang hakekat ilmu sosial yang meliputi arti dan kemauan manusia, mendorongnya membangun teknik atau metode analisis yang berbeda.
Kini, ketika kita menatap jauh ke depan, begitu jelas terhampar bahwa kecepatan dan kompleksitas perubahan sosial dalam masyarakat industri modern lebih besar dibandingkan dengan apa yang menjadi pengalaman hidup para ahli teori sosial masa silam. Perdebatanpun terus berkembang membuka pintu sampai pada kompleksitas kenyataan sosial. Muncul ilmuan-ilmuan yang memandang perlunya aktualisasi teori-teori besar yang telah ada. Namun kritik atas kemandegan terhadap teori-teori besarpun tak terbendung, menjadi pandangan baru untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat.
Bahkan muncul beberapa upaya untuk melakuakan dekontruksi atas kemapanan teori-teori besar dalam membaca kenyataan sosial yang terus berkembang. Namun harus dipahami juga bahwa betapapun derasnya kritik kritik hingga dekontruksi bergerak, kenyataannya sebuah teori lama tidak pernah berhasil dikubur. Bahkan kita menyaksikan pula keberadaan teori lama yang tampil bersandingan dengan teori-teori kontemporer.
Demikian teori-teori sosiologi ,memang tidak bisa memberikan formula dengan daya magis untuk menginterpretasikan kenyataan sosial atau membuat ramalan-ramalan masa depan ataupun memberikan jalan keluar terhadap isu-isu intelektual atau masalah yang dihadapinya. Tetapi kerangka konseptualnya dan intelektual dari persepektif sosiologi, serta gaya analisis yang diberikan oleh teori-teori tertentu dapat membantu kita untuk memahami dunia sosial kita. Pada gilirannya mampu menunjang obyektivitas dan kepekaan. Sekali lagi perlu dicatat bahwa bagaimanapun juga sebuah teori tetap harus dipelajari, sebab warisan ilmiahnya bisa menuntun kita dalam memahami kenyataan sosial. Dan harus dimengerti bahwa bagaimanapun juga dari Eropa-baratlah Sosiologi berkembang.
Sosiologi Sebagai Ilmu Multiparadigmatik
Thomas S. Khun, yang menunjuk pada asumsi-asumsi intelektual dasar yang dibuat oleh para ilmuan mengenai permasalahan-permasalahan yang disebut dengan istilah paradigma. Setidaknya Khun mengartikan suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (world view atau weltanchaung) yang dimiliki oleh ilmuwan dalam disiplin tertentu. Perbedaan-perbedaan antar paradigma ini, telah melahirkan perbedaan-perbedaan dalam orientasi masing-masing disiplin, yang tidak jarang melahirkan pertentangan antar mereka yang mewakili masing-masing paraigma. Bahkan tidak jarang konflik tersebut berjalan sekedar menurut rasional dan ilmiah saja. Ada dimensi politik dalam konflik itu yang mencerminkan indoktrinisasi dari para ilmuwan itu.
Mungkin kebanyakan ahli teori-teori sosial tidak akan menemukan alasan mendasar untuk bertengkar dengan pendirian intelektualnya. Pada akhirnya kita butuh kerendahan hati, paling tidak secara prinsip bahwa adanya ketidaklengakapan suatu teori apapun. Pengertian kita bahwa teori-teori yang berkompetisi itu dapat valid untuk tujuan dan kondisi tertentu.
Bagaimana dengan Sosiologi, apakah Sosiologi juga didominasi oleh suatu paradigma? Jawaban ‘Ya’, jika semua hal mengenai Sosiologi dipahami memiliki asumsi dasar bahwa sikap-sikap, kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, serta pola-pola perilaku individu yang fundamental sangat dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Namun dibalik pandangan umum ini, terdapat perbedaan yang sangat mencolok dalam asumsi-asumsi dasar dari para ahli Sosiologi yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan implikasinya terhadap metode-metode penelitiannya.
Dengan menggunakan konsep paradigma Khun, Ritzer mengembangkan analisis yang tepat mengenai sosiologi sebagai ilmu multiparadigmatik, yang membedakan tiga paradigma yang secara fundamental berbeda satu sama lain, antara lain; Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku Sosial. Paradigma fakta sosial diwakili oleh Emiel Durkheim, selama tahap perkembangan teori sosiologi klasik mendominasi. Pada masa kini terdapat dalam teori fungsionalisme dan teori konflik yang menekankan ide bahwa fakta sosial adalah riil, atau sekurang-kurangnya dapat diperlukan sebagai yang riil. Struktur sosial dan institusi sosial merupakan salah satu diantara fakta sosial itu yang mendapat perhatian khusus.
Paradigma definisi sosial menekankan hakekat kenyataan sosial yang bersifat subyektif, lebih dari pada eksistensinya yang terlepas dari individu. Selama tahap perkembangan teori klasik, paradigma ini diwakili dan dikembangkan oleh Max Weber dengan teori tindakannya. Lalu teori interaksionisme simbolik dari karya Herbert Mead, cooley, dan lain-lain. Teori-teori yang berbeda ini memiliki pandangan bahwa kenyataan sosial di dasarkan pada definisi subyektif individu dan penilaiannya. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola interaksinya dibimbing bersama, yang dikontruksikan melalui proses interaksi.
Paradigma perilaku sosial, menekankan pendekatan obyektif empiris terhadap kenyataan sosial. Menurut paradigma perilaku sosial, data empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku individu yang nyata. Pendekatan ini dikembangkan terutama dalam psikologi sosial, yang prinsip-prinsip dasarnya berasal dari Homans mengenai perilaku sosial. Berbagai paradigma tersebut sesungguhnya memperlihatkan tingkatan-tingkatan kenyataan sosial, yang bisa dibedakan sebagai berikut:
Tingkat individu
Dalam tingkatan ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian dalam analisis intinya. Perhatian tidak pada individu sebagai individu, melainkan pada satuan-satuan perilaku individu tersebut.
Tingkat antar individu
Kenyataan sosial pada tingkatan ini meliputi interaksi antar individu dengan semua arti yang berhubungan dengan komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, negosiasi mengenai bentuk-bentuk tindakan yang saling tergantung, kerja sama atau konflik atar pribadi, pola-pola adaptasi bersama atau berhubungan satu-sama lain terhadap lingkungan yang lebih luas. Dua perspektif teoritis utama yang menekankan tingkatan ini adalah interkasionisme simbolik dan teori pertukaran.
Tingkat struktur sosial
Perhatian pada pembahasan tingkatan ini terletak pada pola-pola tidakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam waktu dan ruang tertentu. Satuan-satuan yang penting dalam kenyataan sosial ditingkatan ini dilihat sebagai posisi-posisi sosial (didefinisikan menururt hubungan yang kurang lebih stabil dengan posisi-posisi lainnya) dan peranan-peranan sosial (didefinisikan menurut harapan-harapan bersama akan perilaku orang-orang yang menduduki berbagai posisi). Dua aliran utama yang berhubungan dengan tingkatan ini ini adalah teori fungsionalis dan konflik.
Tingkat budaya
Tingkatan ini meliputi; arti, nilai, symbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat atau sekelompok anggota masyarakat. Dalam pengertian yang luas, istilah kebudayaan terdiri dari produk-produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan dunia kebudayaan non-materi.
Beberapa paradigma yang telah ditulis diatas merupakan sebuah pengantar bagi siapa saja yang ingin belajar sosiologi, perkenalan dengan perspektif sosiologi langsung terkesan betapa kompleksnya kenyataan sosial itu dan betapa sulitnya memberikan penjelasan yang sederhana sekalipun mengenai dunia manusia sosial ini. Meski demikian peliknya, tetap saja secara terbuka ditangan kita bahwa kemerdekaa untuk memilih teori seluas-luasnya diberikan secara sah oleh sosiologi itu sendiri. Satu hal yang digaris bawahi bahwa masalah mendasar di dalam sosiologi yang bermaksud menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana masyarakat itu sendiri, dengan kata lain sebenarnya menuntun kita untuk menaruh perhatian secara arif pada upaya membangaun prinsip-prinsip untuk memahami kejadian-kejadian sosial.